Dua hari banjir membongkar kepalsuan dua tahun kering. Itulah makna kejadian banjir yang melanda Jakarta, tepat pada dua hari pertama Tahun Baru 2020. Â
Banjir pada 1-2 Januari 2019 itu mengungkap fakta bahwa Gubernur Anies Baswedan tidak menjalankan program-program mitigasi banjir secara signifikan sepanjang tahun 2018-2019.
Dua tahun kering (2018-2019) di Jakarta karena itu adalah sebuah kepalsuan. Â Itu adalah buah "kemurahan" perubahan iklim global, berupa curah hujan rendah (di bawah 100 mm/hari) dalam dua tahun itu. Â
Itu bukan hasil tiga program anti-banjir Anies Baswedan: naturalisasi sungai, vertikalisasi drainase, dan tanggulisasi pesisir. Â Sebuah kepalsuan jika ada klaim bahwa Pemerintah Jakarta sudah optimal melakukan program anti-banjir dalam dua tahun terakhir.
Hujan satu malam sejak dari ujung hari terakhir  2019 sampai awal hari pertama 2020 telah membongkar kepalsuan tersebut dengan cara menciptakan genangan banjir di sekitar 60-an titik. Terutama sepanjang aluran Sungai Ciliwung, Krukut, Grogol, dan Sunter.
Artinya dalam dua tahun masa pemerintahannya, Anies Baswedan tidak menjalankan program anti-banjir secara signifikan, sebagai mitigasi risiko banjir besar jika curah hujan di atas 100 mm/hari.
Apalagi jika curah hujan di atas 200 mm/ hari. Seperti tercatat pada 1 Januari 2020 di Tomang (225.6 mm), TMII (335.2 mm) dan Halim (377 mm), Jakarta. Â
Sebenarnya bukannya tidak ada upaya Anies ysama sekali. Ada tapi lebih pada tindak pemeliharaan. Seperti pengerukan selokan, sungai, dan waduk. Juga penjaringan dan pengangkatan sampah di sungai.
Semua itu bukan bagian langsung dari tiga program anti-banjir ala Anies seperti disebut di atas.
Karena itu sudah sepantasnya warga Jakarta berterimakasih pada Anies Baswedan atas banjir 1-2 Januari 2020 lalu. Karena banjir itu telah mengungkap fakta tentang apa yang belum kunjung dituntaskan Anies untuk memitigasi risiko banjir di Jakarta. Â
***
Fakta itu terungkap secara tidak langsung dari tanggapan atau bantahan Anies Baswedan terhadap Menteri PUPR Basuki Hadimuljono dan kemudian juga terhadap Presiden Jokowi.
Dalam sebuah konferensi pers di Monas, seusai inspeksi banjir di Ciliwung pada 2 Januari 2020 lalu, Menteri Basuki mengungkap fakta empirik yang menohok. Dari 33.16 km ruas Ciliwung yang melintasi Jakarta, banjir tidak terjadi pada 16.19 km yang telah dinormalisasi semasa pemerintahan gubernur sebelumnya. Banjir terjadi pada ruas 17.50 km yang belum dinormalisasi.
Berangkat dari fakta itu, Basuki minta Gubernur Anies melanjutkan program normalisasi Ciliwung. Â Pada masa pemerintahan Anies, program itu telah dihentikan dan diganti dengan program naturalisasi sungai. Â
Tapi sampai awal 2020 ini, program naturalisasi belum juga dilakukan. Sehingga Kementerian PUPR tidak dapat memberikan dukungan. Â Sebabnya naturalisasi sungai tetap berimplikasi penggusuran warga dari bantaran kali. Sementara Anies sudah terlanjur berjanji untuk "membangun tanpa menggusur."
Bukannya mengakui kegagalannya memitigasi banjir besar, Anies justru "menyalahkan" kondisi di hulu, di daerah selatan khususnya Kabupaten Bogor.
Menurut Anies, selama volume air dari hulu tidak dikendalikan, maka banjir akan selalu terjadi di Jakarta. Sekalipun normalisasi sungai dilakukan. Dia menunjuk kasus kejadian banjir di Kampung Pulo, di tempat normalisasi sungai telah dilakukan.
Selanjutnya Anies lebih menyorot penyelesaian dua waduk retensi di hulu, yaitu waduk Ciawi dan Sukamahi Kabupaten Bogor, sebagai solusi utama banjir Jakarta. Â
Itu adalah proyek pemerintah pusat. Artinya Anies menyandarkan mitigasi banjir Jakarta pada ikhtiar pemerintah pusat.
Bantahan Anies pada Basuki bukan hanya tak mencerminkan kapasitasnya sebagai Gubernur Jakarta, tapi juga tak mencerminkan kapasitasnya sebagai seorang saintis. Â
Sebagai Gubernur Jakarta, seyogyanya bicara tentang mitigasi banjir yang dijalankannya di wilayah kekuasaannya. Tidak etis, juga tidak relevan, dia bicara tentang mitigasi banjir di wilayah kekuasaan Gubernur Jawa Barat. Â Atau malah di bawah Pemerintah Pusat, jika bicara pembangunan dam retensi Sukamahi dan Ciawi.
Hanya jika Anies telah menuntaskan program normalisasi/naturalisasi sungai, vertikalisasi drainase kota, dan tanggulisasi garis pantai, setidaknya 50 persen dalam dua tahun terakhir, dan ternyata banjir masih melanda, barulah dia boleh mengaitkan masalah banjir Jakarta ke program mitigasi di hulu. Â
Kasus Kampung Pulo yang masih banjir walau sungainya sudah dinormalisasi, bukan bukti sahih untuk menimpakan kesalahan ke kondisi hulu, atau bahkan kepada curah hujan ekstrim. Â
Sebagaimana diungkap Basuki, percuma jika program normalisasi sungai tidak menyeluruh. Â Karena ruas yang belum normal akan berdampak pada ruas yang sudah dinormalisasi. Apalagi jika ruas sungai yang sudah dinormalisasi tidak dikelola dan diawasi dengan baik. Â Seorang saintis mestinya sudah tahu logika ini.
Itu logika ketuntasan program mitigasi, baik di hulu maupun di hilir, atau dari hulu sampai hilir. Â Seperti digaris bawahi Presiden Jokowi, saat ditanya wartawan di BEJ (2/1/2020), banjir itu disebabkan kerusakkan ekosistem, selain juga karena kesalahan manusia, antara lain membuang sampah sembarangan.
Inti ujaran  Presiden Jokowi adalah kerusakan ekosistem sebagai penyebab banjir.  Itu artinya masalah kerusakan ekosistem sungai dan daerah tangkapan/resapan air dari hulu sampai hilir.  Jadi tidak ada logikanya ketika Anies bilang Halim banjir walau tidak ada yang buang sampah di sana. Â
Respon Anies sungguh tak mencerminkan kapasitasnya sebagai saintis. Disamping juga tidak etis karena terkesan "meledek" Presiden Jokowi. Â Hanya demi berkelit dari tanggungjawab.
Respon Anies memang selalu terkesan menghindari tanggungjawab, atau melempar kesalahan pada pihak lain, jika terjadi banjir di Jakarta. Â Tapi responnya pada kejadian banjir di hari pertama 2020 ini gagal menyelamatkan dirinya dari keharusan bertanggungjawab.Â
Responnya justru membuka tabir bahwa dia tidak melakukan program mitigasi banjir Jajarta secara signifikan dalam dua tahun terakhir.
***
Bukan maksud tulisan ini menyudutkan atau menyalahkan Anies Baswedan. Â Tapi sekadar menunjukkan harus ada pihak yang bertanggungjawab pada kejadian banjir besar pada 1-2 Januari 2020. Â Anies Baswedan, sebagai representasi negara di Jakarta, adalah pihak yang mesti mengemban tanggungjawab itu.
Maka saatnya kini rakyat Jakarta, juga entitas bisnis Jakarta, mendukung Anies Baswedan selaku gubernur untuk menuntaskan 100 persen tiga program utama anti-banjirnya yaitu naturalisasi/normalisasi sungai, vertikalisasi drainase kota, dan tanggulisasi garis pantai.
Rakyat bisa berpartisipasi dengan menjalankan program vertikalisasi drainase secara swadaya. Sebab dari target 1.8 juta lubang drainase vertikal, Â baru sekitar 1,000 lubang yang terealisasi. Partisipasi lain, warga bersedia sukarela melepas tanah dan dipindah dari bantaran sungai demi naturalisasi/normalisasi. Jadi tak perly harus digusur dulu.
Pengusaha swasta bisa mendukung lewat program CSR khusus mitigasi risiko banjir Jakarta. Â Entah untuk nendukung vertikalisasi drainase, naturalusasi sungai, ataupun tanggulusasi pantai. Â Sebab jika banjir terjadi, pengsaha swasta termasuk yang terkena dampak kerugian besar.
Tentu Pemerintah Jakarta juga harus serius menjalankan tiga program anti-banjir itu. Â Anggaran haruslah besar. Menurut kabar nilai anggarannya tahun 2020 sebesar Rp 600 miliar. Â Ini terbilang kecil. Â Bandingkan dengan anggaran revitalisasi trotoar sebesar Rp 1 triliun.
Ini aneh. Â Karena revitalisasi trotoar, seperti teramati di lapangan, justru memperluas struktur beton sepanjang jalan. Â Ini otomatis mengurangi luas bidang resapan air, sehungga meningkatkan aliran permukaan alias banjir. Â Itu sydah terjadi di Kemang Jakarta Selatan pada 1 Janyari 2020 lalu.
Artinya revitalisasi trotoar yang digalakkan Anies itu pro-banjir. Kalau begitu, bukankah seharusnya anggaran penanggulangan banjir lebih besar dari anggaran revitalisasi trotoar? Mudah-mudahan nanti bisa dinaikkan dalam perubahan anggaran tambahan. Â
Tapi, apakah program anti-banjir Jakarta ini akan terlaksana, sangat tergantung pada kemauan dan kemampuan Anies Baswedan selaku gubernur. Â Sekurangnya dia harus mau dan mampu menggusur pemukiman di bantaran kali. Â Harus mau dan mampu melibatkan peran partisipatif dan progresif dari warga dan swasta.
Jika Anies Baswedan tidak mau dan tidak mampu, mumpung masih awal tahun 2020, sebaiknya serahkan saja urusan penanggulangan banjir Jakarta kepada pemerintah pusat. Jangan karena gengsi bilangnya mau dan mampu, tapi sampai tiga tahun ke depan tidak dijalankan. Bisa tenggelam Jakarta ini di ujung pemerintahan Anies.
Begitulah pendapat saya, Felix Tani, petani mardijker, selalu jatuh miskin jika sawahnya terendam banjir.(*)
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H