"Le hariara, un genre de ficus, symbolise le lien très fort des Bataks avec la nature. Pour nous, c'est l'Arbre des âmes, le plus grand de l'univers, explique un paysan de ce peuple Indonésien. Les spectateurs du film Avatar se souviennent sans doute de l'Arbre des âmes (Tree of Souls) qui pousse sur la planète Pandora, là où vit le peuple humanoïde na'vi."
Petikan di atas saya ambil dari artikel “À Sumatra, l’arbre gratte-ciel au carrefour des mondes” yang diterbitkan Courrier International edisi 19 Desember 2019. Data penerbitannya: Courrier international-Kompas Jakarta,-Felix Tani,Publié le 25 avril/jeudi 19 décembre 2019.
Courrier International adalah sebuah koran mingguan internasional, tercetak dan on-line, yang berbasis di Paris, Perancis.
Koran ini menerjemahkan dan menerbitkan ulang artikel-artikel pilihan dari 900-an terbitan koran internasional. Antara lain El Mundo, BBC, Al-Zazeera, Harper's, De Telegraph, The Wall Street Journal, The Times, Asahi Shimbun, The Guardian dan The New York Times.
Koran yang kini tergabung dalam Grup Le Monde, Perancis ini memiliki khalayak pembaca yang sangat luas. Sebab dia memiliki edisi Portugis dan Jepang.
Jadi selain dibaca khalayak berbahasa Perancis terutama di Perancis, Belgia, Kanada dan Afrika Utara, koran itu juga dibaca khalayak berbahasa Portugis dan Jepang.
Petikan di atas adalah paragraf awal dari alih-bahasa artikel saya, "Hariara, Pohon Tertinggi Sejagad yang Ada di Tanah Batak" (kompasiana.com, 25/4/2019).
Diterbitkan dalam Courrier International edisi 19 Desember 2019, judulnya menjadi " Sumatra, l'arbre gratte-ciel au carrefour des mondes". Sayangnya saya tidak bisa mengakses artikel lengkap karena bukan pelanggan.
Saya tidak sepenuhnya paham mengapa artikel sederhana, tentang "pohon hidup" orang Batak, itu bisa menarik bagi editor Courrier International. Tanggal 16 Desember lalu saya mendapat e-mail dari Admin Kompasiana, memberitahu ada editor dari Courrier International berkirim e-mail tanggal 9 Desember menyatakan minat memuat artikel itu dalam media mereka.
Lalu Admin Kompasiana menyertakan nama dan alamat e-mail editor tersebut untuk keperluan komunikasi. Sebab Kompasiana memiliki kebijakan menghubungkan langsung Kompasianer dengan pihak yang tertarik dengan artikelnya.
Pada hari itu juga, 16 Desember, saya berkirim e-mail kepada editor Courrier International. Menyatakan persetujuan, dan rasa bangga, atas rencana pemuatan artikel saya dalam media itu.
Saya belum mendapat jawaban apapun, sampai pada pagi 19 Desember ini, saya menemukan artikel tersebut sudah dimuat dalam Courrier International.
Sudah pasti saya senang dan bangga artikel saya dimuat dalam koran kelas dunia. Karena akan dibaca khalayak berbahasa Perancis, Portugis, dan Jepang di seluruh dunia. Kepuasan utama penulis terjadi ketika artikelnya dibaca banyak orang. Jerih payah menulis langsung terbayar lunas.
Lebih bangga lagi karena artikel itu tampil sebagai artikel utama, a la une, headline atau artikel halaman depan. Bukan hal biasa. Membuat saya berpikir bahwa Admin Kompasiana memang tak sembarang dalam menentukan artikel utama.
Namun demikian, terkait pemuatan artikel di Courrier International itu, ijinkanlah saya menyampaikan tiga catatan kecil.
Pertama, Kompasiana ternyata dimonitor oleh para penerbit koran dunia. Lazimnya mereka punya editor yang menguasai Bahasa Indonesia. Mungkin yang mereka lihat nama Kompas(iana).
Karena yang dicatat sebagai sumber artikel saya adalah "Kompas". Tak mengapa. Fakta ini tetap membuktikan bahwa menulis di Kompasiana adalah menulis untuk warga dunia.
Kedua, selalu ada kemungkinan artikel Kompasiana diminati editor koran kelas dunia untuk dimuat dalam medianya. Tentu itu berlaku untuk artikel yang dianggap memiliki nilai untuk disebar-luaskan kepada warga dunia. Saya tidak mengerti seperti apa itu. Tapi ada baiknya mulai berpikir untuk menulis "apa yang sekiranya perlu diketahui dunia" di Kompasiana.
Ketiga, ada baiknya jika Admin Kompasiana bersedia mewakili Kompasianer membuat perikatan dengan media lain yang berminat pada artikel Kompasianer. Sebab Kompasianer, misalnya saya, tidak selalu paham seluk beluk aturan dalam bisnis penerbitan atau media massa. Khususnya terkait hak dan kewajiban sebagai penulis. Misalnya soal ada tidaknya remunerasi.
Demikian catatan saya, Felix Tani, petani mardijker, gembira artikelnya dimuat dalam Courrier Interbational. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H