Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Tiga Dialog Anak dan Bapak

1 Desember 2019   20:12 Diperbarui: 3 Desember 2019   20:11 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Antara/Wahyu Putro A.

Di Tanah Batak limapuluh lima tahun lalu:

Anak lelaki kecil itu pulang dari hari pertama Sekolah Dasar dengan larik senyum bahagia di bibirnya.  Ayahnya, petani, menunggu dengan dua pertanyaan.  

Nak, tadi gurumu mengajarkan apa di sekolah?  

Pak, tadi guruku mengajarkan huruf a. Bentuknya seperti  burung. Kakinya tidak ada.

Nak, gurumu bijak. Dia mengajarkan banyak hal. Semua huruf ada di alam sekitar. Temukanlah.

Nak, tadi gurumu mengajarkan apa lagi di sekolah?

Pak, tadi guruku mengajarkan angka 1. Bentuknya seperti tongkat kakek. Kakeknya tidak ada.

Nak, gurumu bijak. Dia mengajarkan banyak hal. Semua angka ada di alam sekitar. Temukanlah.

Nak, kelak menjadilah Insiniur Pertanian. Lalu menjadilah pegawai negeri. Jangan menjadi petani seperti Bapakmu ini.

Di Tanah Jawa duapuluh lima tahun lalu:

Anak lelaki kecil itu pulang dari hari pertama Sekolah Dasar dengan larik senyum bahagia di bibirnya.  Ayahnya, pegawai negeri kantor pertanian, menunggu dengan dua pertanyaan.  

Nak, tadi gurumu mengajarkan apa di sekolah?  

Pak, tadi guruku mengajarkan baca tulis. Lihat buku tulisku penuh kata dan kalimat. Aku diberi pekerjaan rumah.

Nak, gurumu cerdas. Dia mengajarkan cukup banyak hal. Tekunlah.

Nak, tadi gurumu mengajarkan apa lagi di sekolah?

Pak, tadi guruku mengajarkan tambah dan kurang. Lihat buku tulisku penuh bilangan. Aku diberi pekerjaan rumah.

Nak, gurumu cerdas. Dia mengajarkan cukup banyak hal.  Tekunlah.  

Nak, kelak menjadilah Insiniur Pertanian. Lalu menjadilah pengusaha pertanian. Jangan menjadi pegawai negeri kantor pertanian seperti Bapakmu ini.

Di Tanah Jakarta lima tahun lagi:

Anak lelaki kecil itu pulang dari hari pertama Sekolah Dasar dengan larik senyum bahagia di bibirnya.  Ayahnya, pengusaha pertanian, menunggu dengan dua pertanyaan.  

Nak, tadi gurumu mengajarkan apa di sekolah?  

Pak, tadi guruku mengajarkan data statistik. Lihat buku tulisku penuh median dan rerata. Aku diberi tugas rumah di komputer.

Nak, gurumu pintar. Dia mengajarkan sedikit hal. Kreatiflah.

Nak, tadi gurumu mengajarkan apa lagi di sekolah?

Pak, tadi guruku mengajarkan relasi dan jaringan. Lihat buku tulisku penuh gambar sarang laba-laba. Aku diberi tugas rumah di komputer.

Nak, gurumu pintar.  Dia mengajarkan sedikit hal.  Kreatiflah.  

Nak, kelak menjadilah Insiniur Pertanian. Lalu menjadilah pengusaha pertanian di awan. Jangan menjadi pengusaha pertanian di tanah seperti Bapakmu ini.(*)
 


 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun