Kompasiana kemudian hadir untuk dan sukses mentransformasi utopia itu menjadi realita. Â Memasuki usia 11 tahun, Kompasiana telah mengantar sekitar 500,000 penduduk Indonesia, para blogger Kompasiana atau Kompasianer, Â ke tataran kehidupan berdemokrasi yang hakiki yakni kemerdekaan menyatakan fakta dan pendapat ke ruang publik.
Para Kompasianer itu, terutama lewat artikel mereka, Â setiap hari mengungkap fakta dan pendapat ke ruang publik. Termasuk di situ ditujukan kepada pemangku kekuasaan eksekutif, legislatif, dan judikatif.
Fakta dan pendapat itu begitu beragamnya. Baik dari segi isi (politik, humaniora, ekonomi, teknologi, ekologi, religi), sifat substansi (fakta, analisis, pendapat), dan tujuannya (persetujuan/penolakan, Â kritik, solusi). Â
Pilpres 2014 dan 2019 adalah dua panggung penting kehidupan berdemokrasi bagi warga Kompasiana. Â Di dua peristiwa itu warga Kompasianer terbelah ke dalam tiga kelompok besar: Pendukung Jokowi, Pendukung Prabowo, dan Penonton Aktif.
Pendukung Jokowi dan Pendukung Prabowo adalah dua kelompok warga yang membentuk dua polar.  Masing-masing kelompok gigih mengungkap keunggulan calon presiden yang didukungnya ke ruang publik.  Sambil mengungkap  kelemahan calon presiden pesaingnya.
Interaksi antara kedua kelompok itu mengobarkan "api demokrasi" di Kompasiana. Menghasilkan komunikasi dengan tensi dan suhu tinggi.
Tensi dan suhu tinggi itu untuk sebagian disirami dengan "bensin" atau sebaliknya "air" oleh kelompok Penonton Aktif. Kelompok ini memang terdiri dari "tukang kompor" dan "pemadam kebakaran". Â
Tapi dilihat secara holistik, kehidupan berdemokrasi yang dipanggungkan Kompasiana itu sejatinya sangat indah. Itulah "Teater Demokrasi Indonesia" yang sebenarnya. Â Â
Sekaligus "Teater Demokrasi" di Kompasiana itu  menunjukkan bahwa kehidupan demokrasi di Indonesia telah sampai pada satu format baru yaitu "E-Democracy" atau "E-Demokrasi". Â
Inilah format demokrasi yang tak terbayangkan sebelumnya. Â Tapi menjadi keniscayaaan di era Teknologi Komunikasi 4.0 kini.
Dengan E-Demokrasi saya maksudkan adalah kehidupan demokrasi di dunia maya sebagai pemanggungan (teater) demokrasi yang tak dapat dijalankan di dunia nyata. Â