Sebelas tahun yang lalu, demokrasi adalah barang mewah untuk warga kebanyakan di Indonesia. Â
Sampai 22 November 2008, tanggal  Kompasiana resmi diluncurkan sebagai blog sosial (publik), warga Indonesia umumnya hanya menjalankan hak demokrasinya sekali dalam lima tahun. Dengan cara memberikan "suara" di bilik Pemilihan Umum. Â
Tentu ada kelompok kecil warga yang sedikit lebih baik dari itu.  Ikut demonstrasi di jalanan atau gedung parlemen untuk menyampaikan aspirasi kepada pemerintah.  Lazimnya mereka adalah mahasiswa, buruh, dan anggota organisasi kemasyarakatan  tertentu. Â
Tapi secara keseluruhan boleh dikatakan kehidupan demokrasi bagi warga kebanyakan di Indonesia terhenti di ujung jalan buntu.
Kompasiana kemudian datang mendobrak kebuntuan jalan demokrasi itu. Â Dia memberi ruang pada warga kebanyakan menyuarakan pendapatnya ke ruang publik. Â Dalam bahasa tulis yang bebas tapi bertanggungjawab.
Sejak 22 November 2008 itu, setiap warga yang melek internet, dapat melepas kehendak  dan menyuarakan pikiran politiknya.  Mereka dapat menyuarakan misalnya siapa tokoh nasional  yang layak dipilih menjadi Presiden RI. Atau menunjukkan  kelemahan kebijakan presiden berkuasa yang perlu diperbaiki.
Mereka juga dapat menyampaikan kritik dan masukan terhadap lembaga dan organisasi negara. Misalnya kepada DPR/MPR, Â kementerian, Polri, TNI, kejaksaan, kehakiman, KPK, BPK, KPU, Pemda, dan entitas BUMN. Â
Atau kritik dan masukan kepada organisasi politik dan kemasyarakatan. Â Mencakup partai politik dengan politisinya. Â Serta organisasi kemasyarakatan atau keagamaan semacam NU dan Muhammadiyah. Â Juga organisasi FPI, HTI (dulu), dan PA 212. Â
Benarlah perkataan para pendiri Kompasiana.  Blog sosial ini  dimaksudkan antara lain untuk memperkuat dasar demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Â
Demokrasi di sini diartikan sederhana saja. Tak lebih dari kemerdekaan warga menyuarakan fakta dan pendapat ke ruang publik terkait artikulasi kekuasaan yaitu eksekutif, legislatif, dan judikatif. Termasuk menyuarakan fakta dan pendapat tentang perilaku institusi kekuasaan dan perilaku pemangku kuasa (penguasa). Â
Penyuaraan fakta dan pendapat itu adalah bentuk nyata partisipasi politik warga. Tepatnya partisipasi pengawasan sosial secara terbuka terhadap praktek kekuasaan. Hingga tahun 2008 yang lalu, hal semacam itu tampak sebagai utopia.