Pemerintah DKI Jakarta, di bawah pimpinan Gubernur Anies Baswedan, baru saja membunuh, persisnya menebang, sejumlah pohon angsana (Pterocarpus indicus) peneduh di sepanjang trotoar Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat.
Sebelumnya sudah dibunuh pula sejumlah pohon angsana peneduh trotoar di Jalan Pegangsaan Timur Jakarta Pusat.
Pohon-pohon angsana itu adalah warisan Pemerintahan Gubernur Ali Sadikin yang ditanam tahun 1970-an. Waktu itu Ali Sadikin bikin program penghijauan Jakarta yang gersang dan panas. Jadi usia pepohonan itu sudah tua, setidaknya mendekati 50 tahun.
Pembunuhan pepohonan tua itu dilakukan atas nama proyek revitalisasi trotoar, pelebaran dan beautifikasi trotoar di Jakarta. Jadi demi revitalisasi benda mati (trotoar) maka Pemerintah Jakarta melakukan devitalisasi benda hidup (pohon). Nyawa pepohonan itu dihalalkan untuk kejembaran dan kecantikan trotoar Jakarta.
Alasan yang disampaikan Kepala Dinas Kehutanan, Suzi Marsitawati dan Kepala Dinas Dinas Bina Marga, Hari Nugroho untuk membenarkan pembunuhan pohon-pohon itu, selain terlalu teknis, mencerminkan kemampuan layan (delivery capacity) yang rendah. Kata mereka, keberadaan pohon itu menyempitkan trotoar serta merusak struktur jalan, trotoar, dan selokan.
Itu alasan yang mencerminkan kemiskinan inovasi. Tidakkah dapat diciptakan teknologi struktur fisik jalan, trotoar dan selokan yang adaptif terhadap pertumbuhan batang dan akar pohon?
Bagaimanapun, pembunuhan pohon-pohon tua itu tidak dapat dibenarkan, sekurangnya karena tiga alasan.
Pertama, pohon peneduh adalah bagian integral dari trotoar Jakarta. Karena itu proyek revitalisasi trotoar semestinya juga mencakup revitalisasi pohon peneduh, bukannya devitalisasi (mematikan, membunuh) pepohonan. Implikasinya, disain revitalisasi trotoar semestinya dibuat dengan limitasi pelestarian tegakan pohon-pohon peneduh.
Cara itu memang tidak akan menghasilkan trotoar yang lurus, seperti diinginkan Pak Anies, mungkin. Melainkan trotoar yang berkelok-kelok mengikuti kebutuhan ruang pohon. Tapi bukankah kelokan itu indah dan alami?
Kedua, keberadaan pohon angsana di trotoar itu adalah bagian dari 9.4 persen ruang terbuka hijau (RTH) Jakarta kini, yang harus ditingkatkan menjadi 20 persen, untuk mencapai target penurunan 30 persen emisi gas rumah kaca (karbon dioksida) tahun 2030. Ini komitmen Pemerintah Jakarta yang disampaikan pada United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) ke-15 tahun 2009 di Copenhagen.
Jadi, seperti dikatakan Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal, Ahmad Safrudin, penebangan pohon-pohon angsana itu sejatinya menegasikan komitmen Pemerintah Jakarta untuk mereduksi emisi gas rumah kaca. (Baca: "Penebangan Pohon di Cikini Bertentangan dengan Komitmen Pemprov DKI Turunkan Emisi Gas Rumah Kaca", kompas.com, 5/11/2019).
Saat Jakarta sedang disorot masyarakat internasional karena status polusi udaranya terburuk di dunia, pemerintahnya justeru membunuh pohon-pohon angsana, "pahlawan" pereduksi emisi gas rumah kaca, penyerap polutan udara, dan penurun suhu udara.
Untuk diketahui, pohon angsana mampu menyerap 310 gram polutan udara atau karbon dioksida per jam. Bandingkan dengan pohon tabebuya, konon akan menjadi pengganti angsana, yang hanya mampu menyerap 24.2 gram polutan per jam, atau 8 persen dari kemampuan angsana.
Bunga tabebuya mungkin lebih indah dipandang. Walau bunga angsana tak kurang cantiknya. Tapi jelas bahwa pohon angsana jauh lebih menyehatkan paru-paru, karena menyerap lebih banyak polutan. Apakah Pemerintah Jakarta sekarang lebih perdulu keindahan kota ketimbang kesehatan warga?
Ketiga, pohon angsana sejak 1998 telah dimasukkan Badan Konservasi Dunia IUCN ke dalam Daftar Merah (IUCN Red List Versi 3.1) dengan kategori status "Rentan" (VU, Vulnerable) (lihat: Wikipedia). Artinya spesies angsana ini "sedang menghadapi risiko kepunahan di alam liar" pada waktu yang akan datang. Sehingga harus dilakukan upaya-upaya konservasi untuk melestarikannya. Bukannya ditebang dengan alasan yang anti-konservasi seperti di Jakarta.
Pohon angsana, di habitat aslinya di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, kini memang sedang menghadapi resiko kepunahan akibat eksploitasi berlebih. Kayu angsana memang kategori kelas satu sebagai bahan mebel mewah, alat musik, kabinet kelas atas, parket, dan lain-lain. Kayu yang dikenal sebagai "Rosewood" atau "Redsandalwood" ini, karena warnanya kemerahan laiknya mawar, memiliki motif serat kayu yang indah, aroma wangi, dan daya tahan luar biasa awet dalam segala cuaca.
Tidak heran jika harga kayu ini di pasaran dunia tergolong mahal. Terlebih sekarang saat populasi kayu ini di alam bebas sudah sangat jarang. Harganya makin melambung.
Mengingat nilai ekonomi kayu angsana yang sangat tinggi, maka sepantasnya ditanyakan kepada Dinas Kehutanan Jakarta, dikemanakan semua pohon angsana tua yang ditebang itu? Jika dijual, kepada siapa dijual dan hasil penjualannya untuk apa? Apakah untuk konservasi angsana di Jakarta? Juga perlu ditanya mengapa Dinas Kehutanan menebang spesies pohon yang berstatus konservasi "Rentan"?
Mengingat tiga hal di atas, maka kepada Pak Anies selaku Gubernur Jakarta, perlulah diingatkan, "Berhentilah membunuh pohon-pohon angsana di trotoar Jakarta".
Sudilah Pak Anies mempertimbangkan status pohon itu sebagai investasi ekologis bernilai tinggi. Mengingat fungsi pentingnya sebagai penyerap polutan udara karbon dioksida yang sangat unggul, serta status konservasinya yang masuk kategori "Rentan" menurut IUCN Red List.
Angsana seyogyanya menjadi nilai unggul untuk Jakarta, karena kota ini dapat menjadi habitat lestarinya. Bagus sekali jika Jakarta menjadi "Kota Angsana", bisa menjadi ikon konservasi angsana kelas dunia.
Demikian catatan saya, Felix Tani, petani mardijker, punya semboyan "Revitalisasi trotoar: Yes! Devitalisasi pohon trotoar: No! (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H