Saat melintasi hutan kecil di belakang perumahan Direksi PT Sang Hyang Seri (SHS) di Sukamandi Subang, dalam rangka "Tour de Sawah" individual 22 Oktober 2019 lalu, pandangan saya tertumbuk pada sebatang pohon ukuran raksasa. (Tentang "Tour de Sawah di Sukamandi", lihat di kompasiana.com, 24/10/2019).
Dari Mas Agus, GM Kebun Sukamandi SHS kemudian saya peroleh informasi, itu adalah pohon asem buto. Orang Subang menyebutnya juga ki tambleg, karena sosoknya yang tua (ki) tapi tetap kokok berdiri tegak (tambleg).
Nama asli pohon itu adalah baobab. Sering juga disebut boab, boaboa, pohon botol (untuk spesies dengan batang bentuk botol), pohon kehidupan, dan "pohon roti monyet".
Nama latinnya Adansonia sp, merujuk nama Michel Adanson, seorang pecinta alam dan penjelajah berkebangsaan Prancis. Namanya diabadikan menjadi nama genus untuk baobab, sebagai penghormatan atas jasanya mendeskrisikan Adansonia digitata, dikenal sebagai Baobab Afrika.
Madagaskar adalah rumah utama baobab. Enam dari sembilan spesies baobab yang ada di dunia ini hidup di padang kering Madagaskar. Dua spesies hidup di daratan Afrika dan satu spesies di Australia. Karena memiliki spesies terbanyak, maka pohon baobab ditabalkan sebagai pohon nasional Madagaskar.
Tiga pohon dipindah ke taman Kampus Universitas Indonesia, Depok tahun 2010 untuk keperluan konservasi dan riset potensi ekonominya. Sisa tiga pohon, satunya tumbang tahun 2017. Tinggal dua pohon yang masih bertahan sampai kini.Â
Sebenarnya tidak hanya di komplek SHS Sukamandi. Baobab atau asem buto juga terdapat di komplek Pabrik Gula Rajawali II milik RNI di Cipunagara, Subang. Tujuh dari 10 pohon baobab yang kini ada di taman UI Depok berasal dari sana.
Satu dari dua pohon asem buto (A. digitata) yang tersisa di komplek SHS Sukamandi tumbuh tegak di tanah lapang pemukiman karyawan.
Pohon ini pada tahun 2010 resmi dilestarikan secara bersama oleh SHS dan UI, sebagai spesimen untuk riset pangan dan obat-obatan. Ditandai sebuah prasasti yang ditandatangani Gumilar R. Sumantri (Rektor UI waktu itu) dan Eddy Budiono (Dirut SHS waktu itu). Prasasti itu diletakkan di bawah naungan baobab tersebut.
Karena ukurannya yang raksasa, juga usia tuanya, penghuni komplek pegawai SHS Sukamandi lazimnya bilang pohon asem buto itu sangat angker. Beredar rumor tentang banyaknya mahluk halus yang tinggal di situ.
Seorang pegawai SHS, yang rumahnya berhadapan dengan pohon itu, berusaha meyakinkan saya bahwa asem buto itu adalah kraton kerajaan mahluk halus di Sukamandi. Pokoknya, diklaim, pohon tersebut sangat angker. Klaim yang tidak guna dibantah. Tapi juga tidak perlu diterima sebagai fakta.
Ketimbang sibuk membicarakan keangkerannya, lebih baik menggali manfaat darinya. Tidak banyak yang tahu bahwa asem buto itu sarat manfaat.
Penelusuran informasi di Wikipedia menunjukkan bahwa hampir semua bagian pohon ini bermanfaat. Kulitnya yang tahan api sangat baik untuk serat bahan pembuat tali dan pakaian. Daunnya bermanfaat untuk obat herbal dan bumbu masak. Bisa juga dikonsumsi langsung sebagai lalapan segar, rasanya seperti kemangi (basil).
Rasa buah agak asam segar mirip jeruk. Itu sebabnya pohon ini dinamai asem buto (asem raksasa). Buah baobab ini kaya vitamin C, potassium, karbohidrat, dan phosfor. Bisa dikonsumsi segar, atau terlebih dahulu diolah dan dimasak, atau dikeringkan untuk dijadikan tepung bahan makanan.
Batang baobab atau asem buto ini juga tak kurang manfaatnya. Ukuran batang yang sangat besar, bisa mencapai diameter 11 meter dan tinggi 30 meter, dapat menyimpan air dampai 120,000 liter.
Air ini digunakan untuk bertahan hidup selama musim kering, dambil juga daunnya digugurkan sampai meranggas, untuk meminimalkan penguapan. Penduduk Afrika terbiasa memotong ranting baobab, atau menetak batangnya, untuk mendapatkan air minum.
Bagian dalam batang asem buto tua kosong (growok), membentuk ruang besar. Di Afrika lubang pohon ini dimanfaatkan sebagai tempat tinggal atau bahkan tempat usaha. Atau jika tidak dimanfaatkan manusia, lazim dimanfaatkan hewan liar sebagai sarang. Lubang pohon asem buto di Sukamandi misalnya dimanfaatkan luwak/musang, berang-berang, biawak, bahkan ular sebagai sarang. Â
Tambahan usia pohon ini sangatlah panjang, bisa mencapai ribuan tahun. Baobab tertua, sekitar 6,000-an tahun terdapat di Limpopo, Afrika Selatan. Tingginya 22 meter, diameter batang 15.9 meter, dan lingkar batangnya mencapai 47 meter. Lubang dalam batang pohon itu dimanfaatkan sebagai ruang pub, dikenal sebagai "The Big Baobab Pub".
Kembali ke asem buto atau Baobab Afrika milik SHS. Mengingat perusahaan ini BUMN Perbenihan, khususnya tanaman pangan, alangkah baiknya jika ia menggagas program pembibitan asem buto. Pohon ini gampang dibiakkan. Cukup dengan stek dahan atau ranting. Di komplek SHS Sukamandi ada beberapa anakan asem buto yang berasal dari ranting pohon yang tumbang.
Saya membayangkan daerah seperti Banten, Gunung Kidul, NTB, NTT, dan Sulawesi yang kering adalah habitat yang cocok untuk asem buto atau baobab ini.
Jika SHS mampu menyediakan bibitnya, tentu dengan dukungan pemerintah (Kementerian Pertanian dan Kementerian LHK), maka suatu saat nanti, katakanlah tahun 2050, daerah-daerah itu akan menjadi lumbung pangan berbasis baobab, sebagai substitusi beras, bagi Indonesia.
Saya pikir sudah saatnya juga pemerintah serius mengembangkan pangan alternatif benilai gizi dan ekonomi tinggi. Asem buto atau Baobab Afrika adalah jawabannya. Perlu mengubah fungsi pohon ini dari sekadar "kraton mahluk halus" yang menyeramkan menjadi "sumber pangan (dan obat)" yang menghidupkan manusia.
Ya, asem buto itu adalah pohon pangan, harapan kedaulatan pangan Indonesia di masa depan. Pohon pangan yang hanya sekali tanam untuk dipanen selama ribuan tahun. Inilah pohon pangan abadi.
Demikian cerita saya, Felix Tani, petani mardijker, bermimpi asem buto menjadi pohon pangan berkelanjutan bagi rakyat Indonesia.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H