Sedangkan boru merepresentasikan Mangalabulan, Sang Pembaharu, yang menerima sumber atau berkah hidup dari Bataraguru, lalu secara sinambung mengembangkan dan memperbaharui potensinya, sehingga memberikan hasil yang semakin berlipat-ganda.
Bisa dikatakan bahwa hulahula (Bataraguru) adalah pemberi sumber hidup, dongan tubu (Soripada) adalah penata-kelola yang berkeadilan, dan boru (Mangalabulan) adalah penerima dan pengembang sumber-sumber kehidupan.
Pembagian status dan peran sosial di atas dapat dilihat dengan jelas dalam struktur sosial huta, kampung Batak. Raja huta yang sekaligus marga raja adalah hulahula, kerabat garis patrilineal semarganya adalah dongan tubu, dan pihak marga lain yang menikahi anak perempuan marga raja (raja huta dan dongan tubu) adalah boru.
Boru memperoleh berkah sumber hidup dari hulahula dengan dua cara. Pertama, memberikan sebagian golat (tanah adat) untuk membuka kampung baru yang menginduk pada kampung hulahula. Kedua, memberikan sebidang tanah (lazimnya sawah) sebagai pauseang atau sumber hidup bagi anak perempuan yang baru menikah.
Pemberian tanah sebagai sumber hidup dari hulahula kepada boru adalah wujud berkah tertinggi dalam masyarakat Batak. Itu adalah dasar bagi nilai somba marhulahula dan elek marboru.
Di satu pihak boru wajib menghormati dan menjunjung harkat hulahula, sumber berkah hidup. Caranya antara lain dengan mempersembahkan sebagian hasil kerjanya, sebagai tanda syukur dan pengharapan akan berkah yang lebih besar.
Di sisi sebaliknya hulahula wajib mengasihi boru dengan cara melimpahinya dengan berkah, agar pekerjaannya memberikan hasil semakin melimpah. Jika hasil melimpah maka wujud syukur boru juga akan semakin besar.
Pola relasi sosial "pemberian" di atas menjadi konteksi larangan menantu (boru) memberi ikan kepada mertua (hulahula) dalam masyarakat adat Batak. Saya ingin jelaskan soal relasi secara lebih spesifik dulu.
Relasi Hulahula-Boru
Sejatinya relasi sosial adat orang Batak memang berpusat pada relasi hulahula dan boru. Secara genealogis struktur masyarakat Batak Toba Tua memang adalah moiety, masyarakat dua belah, satunya belahan Lontung dan lainnya belahan Sumba. Secara mitologis disebutkan keduanya turunan dari dua putra Si Raja Batak, Raja Ilontungon dan Raja Isumbaon.
Belahan Lontung, keturunan Raja Ilontungon atau Guru Tateabulan mendiami wilayah daratan Samosir. Belahan ini terdiri dari marga-marga antara lain Sinaga, Situmorang, Pandiangan, Gultom, Nainggolan, Simatupang, Aritonang, Limbong, Sagala dan Malau. Pendeta Raja untuk belahan ini adalah Ompu Paltiraja yang beristana di Urat, Palipi Samosir.
Belahan Sumba, keturunan Raja Isumbaon mendiami daratan pantai luar di selatan Danau Toba, dari Toba Holbung (Porsea sampai Balige) hingga Bakkara (sekarang Baktiraja). Belahan ini terdiri dari marga-marga antara lain Manurung, Sitorus, Simanjuntak, Panjaitan, Sinambela, Sihotang, Sihombing, dan Simamora. Pendeta Raja untuk belahan ini adalah Ompu Sisingamangaraja yang beristana di Bakkara.