"Kepada penguasa negeri: Waspadalah! Jika para perempuan sampai maju telanjang ke medan juang, berarti keadaan sudah genting. Lidah dan otot para lelaki sudah kelu digilas deru buldoser dan derap sepatu lars. Jerit anak-anak sudah hampa suara, sebab perut mereka hampa energi. Di situasi itu pada perempuan hanya tersisa satu senjata si lemah: Telanjang!"
Sebait puisi untuk "Perempuan Sigapiton" dari Felix Tani
Dalam masyarakat Batak modern, hanya ada dua alasan perempuan membuka penutup payudara di ruang publik. Pertama, untuk menyusui anak batita. Karena itu dalam budaya Batak anak pertama disebut buha baju (pembuka baju). Maksudnya anak yang membuat ibunya rela membuka baju di ruang publik untuk menyusuinya.
Alasan kedua, menghadapi kondisi genting yang menentukan hidup atau mati keluarganya, khususnya anak-anaknya. Saat perempuan berada di batas akhir perjuangan mempertahankan hak atas basis kehidupan sosial-ekonomi keluarga. Bagi orang Batak yang agraris itu berarti hak atas tanah.
Jika pada 12 September 2019 lalu ramai diberitakan sejumlah perempuan (ibu) warga Bius Raja Naopat Sigapiton, Toba-Samosir (Tobasa) menelanjangi diri di atas tanah kawasan The Kaldera Toba, maka kondisi terakhir inilah alasannya.
Para perempuan itu menempuh "aksi telanjang" untuk melawan negara yang merampas tanah adat mereka, sebagian dari kawasan The Kaldera, satu-satunya sumber nafkah yang tersisa untuk keluarga.
Tanah adat itu secara sepihak telah diklaim pemerintah sebagai milik negara dan kemudian diserahkan kepada Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT) dengan status hak pengelolaan (HPL).
Negara pada hari itu hadir di sana secara institusional berupa Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT), TNI, Polri, Satpol PP dan Pemda Tobasa. Gabungan institusi-institusi kekuasaan negara itu membawa serta buldoser untuk membukan jalan sepanjang 1.9 km dan lebar 8 m dari The Kaldera Nomadic ke Batusilali. Jalan yang menerabas ladang mata pencaharian warga Sigapiton.
Kehadiran buldoser dengan kawalan istitusi-institusi kekuasaan di The Kaldera pada 12 September itu adalah titik zenit keangkuhan kekuasaan pemerintah atas rakyatnya. Sekaligus titik nadir ketakberdayaaan rakyat terhadap pemerintahnya. Suara rakyat tak didengar pemerintahnya.
Tokoh-tokoh masyarakat adat Bius Raja Naopat Sigapiton sebelumnya telah berulang-kali meminta kepada pemerintah untuk memulihkan hak milik mereka atas tanah adat (golat) seluas 941 ha.
Sebagian besar bentang tanah adat itu telah diklaim pemerintah sebagai tanah negara (kehutanan), menyisakan hanya 81 ha untuk warga masyarakat adat Sigapiton.Â
Mereka, dengan bantuan LSM, sudah menyampaikan persoalan itu kepada Bupati Tobasa, BPODT, Kementerian LHK, Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan, bahkan kepada Presiden Jokowi. Tapi jawabannya adalah kehadiran bulldozer pada pada tanggal 12 September itu. Jawaban yang sangat telanjang: "Pemerintah tidak mengakui tanah adat Bius Raja Naopat Sigapiton!"
Jika para perempuan Sigapiton pada hari itu kemudian melakukan aksi telanjang menghadang aparat kekuasaan dan buldosernya di areal The Kaldera Nomadic, maka kejadian itu harus dilihat sebagai puncak "perlawanan kaum lemah".
Pada hari itu mereka telah menggunakan senjata terakhir kaum lemah yaitu "aksi perempuan telanjang di hadapan penguasa".
"Apakah para perempuan itu tidak malu telanjang?" Itu pertanyaan yang salah. Sebab yang harus ditanyakan dan dijawab adalah: "Apakah pemerintah tidak malu warganya, para perempuan yang nota bene penjaga tata-krama, harus menelanjangi diri demi memperjuangkan hak atas tanah yang menjadi basis kehidupan keluarganya?"
Tanah adalah ulos na so ra buruk, kain tak kunjung lapuk, bagi orang Batak. Tanah adalah "pakaian harga diri, kehormatan". Jadi nilainya melebihi saput-saput, pakaian penutup badan.
Karena itu aksi telanjang para perempuan Sigapiton itu sangat dalam maknanya. Mereka sedang meneriakkan puncak kemarahan: "Kami berdaulat atas tanah kami, seperti kami berdaulat atas tubuh kami!"
Sebenarnya perempuan Batak telanjang memperjuangkan hak atas tanah adat adalah sebuah paradoks sosial. Sebab menurut hukum adat pertanahan Batak, perempuan dalam status sosialnya sebagai marga boru tidak memiliki hak milik atas tanah adat.
Dia hanya berhak atas tanah puseang, tanah yang diberikan ayahnya sebagai bekal hidup perkawinan. Laki-lakilah yang berhak atas tanah adat, dalam status sosialnya sebagai marga raja atau raja huta.Â
Ironisnya, karena laki-laki Batak lazim merantau dan meninggalkan para perempuan di kampung, tanggungjawab menjaga tanah kemudian terbeban pada pundak perempuan.
Mereka harus menjaga tanah, tapi mereka tak punya kuasa atas tanah yang dijaganya. Betapa besar tanggungjawab perempuan, sebaliknya betapa lemah posisi mereka dalam struktur penguasaan tanah.
Apakah pemerintah sudi mendengar kemarahan para perempuan Sigapiton, kaum terlemah dalam struktur sosial masyarakat adat Batak itu? Tidak! Sejauh ini pemerintah masih menulikan diri.
Pihak BPODT kukuh pada pendapat bahwa urusan tanah adat Sigapiton adalah urusan pemerintah. BPODT hanya bertanggungjawab membangun obyek wisata kelas dunia di atas tanah Hak Pengelolaaan (HPL) seluas total 387 ha yang diberikan pemerintah.
Pemda Tobasa sendiri melempar tanggung-jawab ke Pemda Provinsi Sumut. Menurut Bupati Tobasa, urusan sengkarut tanah adat Sigapiton dan HPL BPODT itu sekarang urusan Gubernur Sumut.
Sembari Pak Bupati menunda-nunda penerbitan Perda Tanah Adat yang sebenarnya mungkin bisa menjadi jalan masuk untuk pemulihan hak warga Bius Raja Naopat Sigapiton atas tanah adatnya.
Perkembangan terakhir (28/09/2019), dua orang staf Kantor Kepresidenan, datang menemui warga Bius Raja Naopat Sigapiton mengumpul fakta sengketa pertanahan tersebut.
Konon atas perintah Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko, menindaklanjuti perintah Presiden Jokowi. Agak aneh karena fakta sebenarnya sudah banyak terkumpul. Solusi masalah yang tak kunjung ada.
Sebenarnya, untuk debottlenecking atas gejala saling lempar tanggungjawab dalam penyelesaian sengketa tanah adat di kawasan The Kaldera, sudah tepat menempatkan KSP sebagai inisiator penyelesaian masalah.
Sangat baik jika KSP membentuk tim lintas sektoral/stakeholder untuk menyelesaikan sengketa lahan tersebut sesegera mungkin.
Masalah sengketa tanah adat Sigapiton itu tipologis masalah pertanahan di Tanah Batak. Agar duduk persoalan terang, maka struktur sengketa pertanahan itu harus diungkap dulu secara benar. Sebab di sana ada juga potensi sengketa horizontal antar bius (federasi kampung Batak).Â
Raja-raja Bius Raja Naopat Sigapiton (Manurung, Sirait, Butarbutar, Nadapdap) mengajukan klaim atas tanah adat 914 ha berdasar surat tanah tahun 1975.
Seluas 279 ha dari 914 ha itu kini dicakup ke dalam kawasan HPL BPODT. Sementara itu itu ada informasi mengatakan areal seluas 279 ha itu sejatinya merupakan wilayah Desa Pardamean Sibisa, bagian dari golat Bius Sirait yang telah diserahkan oleh Raja Bius Sirait kepada pemerintah tahun 1952.Â
Ada indikasi tumpeng-tindih hak atas tanah adat antar bius di sini yang bisa berujung pada konflik horizontal jika tidak diselesaikan secara bijak. Jangan pula BPODT atau pemerintah membenturkan Bius Raja naopat Sigapiton dan Bius Sirait (Pardamean Sibisa), sebagai jalan melarikan diri dari permasalahan.Â
Maka KSP perlu hadir dengan timnya untuk menyelesaikan sengekata pertanahan tersebut secara berkeadilan. Tim yang dibentuk harus benar-benar paham mengenai sejarah pertanahan (agraria) wilayah Uluan Tobasa, khususnya Sibisa-Sigapiton-Ajibata-Horsik-Aeknatolujaya. Juga paham mengenai masyarakat hukum adat Batak Toba dan hukum adat pertanahan yang berlaku di sana. Serta paham mengenai struktur sosial masyarakat Batak Toba.
Penyelesaian sengketa pertanahan Bius Raja Naopat Sigapiton dan BPODT ini bernilai strategis. Sebab masalah serupa sangat mungkin timbul pula di lokasi lain, tempat pembangunan destinasi wisata, semisal di Pulau Sibandang, Muara. Belajar dari sengketa pertanahan di The Kaldera, maka bisa dirumuskan pendekatan untuk mencegah hal serupa terulang di tempat lain di sekitar Danau Toba.
Jangan lagi ada perempuan Batak yang harus telanjang demi mempertahankan hak masyarakatnya atas tanah adat. Jika sampai hal itu terjadi lagi, maka yang pertama harus malu dan yang mestinya paling besar malunya adalah pemerintah. Sebab pemerintah tak mampu menjamin hak rakyatnya untuk hidup selayaknya.
Secara khusus saya harus menyebut nama Pak Jokowi di sini, dalam statusnya sebagai Presiden RI, Kepala Pemerintahan yang tertinggi. Semestinya Pak Presidenlah yang menanggung malu paling besar atas kejadian perempuan Batak telanjang untuk mempertahankan hak hidupnya.
Demikian pandangan dari saya, Felix Tani, petani mardijker, mendukung inisiatif KSP untuk penyelesaian sengketa tanah warga Sigapiton dan BPODT secara berkeadilan.(*)
Baca: Pak Jokowi, Ibu-ibu Telanjang Menuntut Haknya di The Kaldera Toba
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H