Ancaman atas kelangsungan hidup ke depan itulah yang memicu aksi telanjang sejumlah ibu menghadang aparat dan buldozer BPODT yang membuka jalan di atas tanah adat mereka.  Persoalannya di situ, tanah adat sebagai basis  kehormatan mereka dinilai telah diambil dan digarap BPODT. Tidak ada orang Batak yang lebih hina dari orang yang diusir dari tanah adat warisan leluhurnya. Â
Telanjang Itu Simbol Protes Keras
Aksi ibu-ibu telanjang itu bukan sebuah aksi irrasional melainkan pernyataan budaya. Itu adalah simbolisasi dari perasaan terhina oleh BPODT. Mereka sedang meneriakkan protes keras: "Kamu boleh menelanjangi tubuhku, tapi jangan sekali-kali menelanjangi  jiwaku". Â
Bagi orang Batak tanah adalah pakaian jiwa (roh). Â Tanah disebut sebagai ulos na so ra buruk, kain yang tak kunjung usang. Mencabut tanah dari orang Batak berarti mencabut pakaian jiwa, harga diri dan kehormatannya.
Saya tak yakin BPODT ataupun pemerintah bisa "mendengar" teriakan itu dengan "telinga berbudaya". Â Pihak Pemda Tobasa malahan cuma bilang sudah diberikan ganti untung atas tegakan tanaman di atas kawasan The Kaldera. Sungguh respon yang tidak cerdas atau mungkin masa bodoh.
Dalam artikel Kamis 12 September itu sudah saya simpulkan bahwa warga Bius Raja Paropat Sigapiton mendukung pembangunan destinasi wisata The Kaldera. Â Tapi mereka minta hak mereka atas tanah adat diakui dan sumber air mereka dilindungi kelestariannya.Â
Karena itu saya sarankan solusinya adalah memberi pengakuan itu lalu, sebagai implikasinya, membangun agrowisata yang melibatkan warga Sigapiton sebagai pelaku di The Kaldera. Lalu menjadikan sumber air sebagai enklaf hutan. Agar ketersediaan air irigasi terjamin demi kelestarian inti budaya sawah Sigapiton.
Harapan pada Jokowi
Pada akhirnya, saya ingin menyampaikan suatu harapan pada Pak Jokowi. Â Selaku Presiden RI beliau sangat getol mempromosikan dan membangun pariwisata Danau Toba. Namun ada sejumlah masalah yang ditutupi dari penglihatannya. Salah satunya masalah tanah adat di The Kaldera Toba.
Karena kaum ibu sudah telanjang menantang keangkuhan BPODT dan aparat, dan suara mereka tak diperdulikan, maka saya sungguh berharap Pak Presiden sendiri yang sudi mendengar "bahasa tubuh telanjang" dari ibu-ibu Bius Raja Paropat Sigapiton itu. Saya sungguh tak bisa berharap pada Pemda dan BPODT yang sudah "tuli budaya".Â
Juga tidak  berharap pada Pak Luhut Panjaitan, Ketua Pengarah BPODT.  Karena sebelum ibu-ibu itu melakukan aksi telanjang, dia sudah bertemu warga Sigapiton dan berjanji semuanya akan dijalankan dengan baik. Tapi apa yang terjadi kini?