Tapi faktanya bukan begitu. Karena itu kehadiran bangunan Jabu Na Ture di Sigapiton menjadi asing bagi warga sana. Jelasnya "rumah telur" yang disebut langkah awal proyek percontohan Desa Wisata Sigapiton itu menampilkan kultur wisata yang asing bagi pemangku budaya Batak setempat.Â
Itu menjadi pertanda bahwa warga Batak Sigapiton akan terasingkan dari kultur wisata yang sedang dikembangkan pemerintah dan juga BPODT. Risikonya warga sana kelak hanya akan menjadi penonton. Bukan subjek yang mengembangkan dan mengambil manfaat dari pertumbuhan wisata di situ.
Sebenarnya pada tanggal 29 Januari 2017, Pemkab Tobasa dan Direksi BPODT telah melakukan sosialisasi program desa wisata di Sigapiton. Tapi sosialisasi itu hanya menekankan bahwa Sigapiton akan menjadi destinasi wisata unggulan. Lalu warga diminta siap menyongsongnya.Â
Sejauh ini tidak ada fasilitasi warga Sigapiton untuk menata struktur sosial sebagai subyek dan mengembangkan budaya lokal sebagai objek wisata. Bangunan sosial lokal tidak dikembangkan agar lebih berdaya kreatif merespon pengembangan Desa Wisata Sigapiton.
Puncak "Gunung Es" di Danau Toba
Inilah "Tragedi Sigapiton" yang disembunyikan dari Presiden Jokowi: "Pengusaha kaya menjual wisata Sigapiton, orang kaya datang membelinya, warga Sigapiton hanya menonton dari luar garis."
Kasus Ompu Hotler Sirait boru Sidabutar adalah ilustrasi yang pedih. Sepetak tanah adat garapannya di Silali, satu-satunya sumber nafkah peninggalan mertuanya, telah menjadi bagian dari The Kaldera, tanpa kompensasi atas kehilangan sumber nafkah.
Dia kini jatuh miskin dan hanya bisa menjadi penonton transaksi wisata antar orang kaya di The Kaldera.
Saya pikir tidak sesederhana itu. Ada kekhawatiran "Tragedi Sigapiton" itu semacam puncak "gunung es" dari persoalan besar sosial-budaya yang tak dikelola dengan baik dalam proses pengembangan 12 Destinasi Wisata Kawasan Danau Toba.Â
Kekhawatiran ini didasari fakta bahwa BPODT, juga pemerintah, hanya terfokus pada pengembangan bangunan fisik (alam dan buatan). Sedangkan bangunan sosial (struktur dan budaya) sejauh ini, boleh dikatakan, belum disentuh sama sekali
Jika bangunan sosial itu tak digarap secara memadai, maka pada saatnya dia akan menjadi dasar "gunung es" yang bisa menghancurkan "Kapal Wisata" Danau Toba. Maksudnya terjadi disharmoni yang bersifat destruktif antara entitas sosial lokal dan entitas wisata. Ujungnya adalah kehancuran bagi keduanya.