Lagi pula keinginan namboru Si Poltak untuk minta tambahan lahan sawah bukanlah sesuatu yang dadakan. Sebelumnya sudah ada pembicaraan-pembicaraan informal dengan Nenek Poltak, sebagai orangtuanya, atau secara adat menjadi pihak hula-hulanya. Kedatangan membawa dan menyajikan makanan itu adalah tindakan sosial menyampaikan permohonan secara adat.
Dalam adat Batak berlaku prinsip "katakanlah dengan makanan". Maka ada istilah tudu-tudu ni sipanganon, maksud dan tujuan makanan adat yang disajikan. Frasa "Walau tak seberapa sajian kami, semoga berkahnya melimpah" dalam umpasa penghantar makanan itu bersayap. "Semoga berkahnya melimpah", berarti ada harapan atau keinginan yang dilekatkan pada sajian makanan adat itu.Â
Itu sebabnya hula-hula menanyakan makna makanan seusai bersantap. Sebab hula-hula dalam masyarakat Batak diposisikan sebagai sumber berkah. Tanah (sawah) dalam hal ini diartikan sebagai berkah berkelanjutan, karena merupakan sumber penghidupan.
Itu tadi penjelasan sosiologi-antropologi. Tapi secara biologis dan psikologis juga memang lebih baik makan kenyang dulu baru bicara. Bicara dengan perut kenyang selalu lebih produktif ketimbang bicara dengan perut keroncongan. Sebab orang lapar cenderung cepat marah, sehingga pembicaraan berantakan tanpa hasil.
Kurang-lebih begitulah sepengetahuan saya, Felix Tani, petani mardijker, punya prinsip "ngumpul ora ngumpul waton mangan".***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H