Jurisprudensi semacam itu sangat perlu dalam masyarakat Indonesia yang patriarkis. Sebab dalam masyarakat kita terdapat kecenderungan (gender) laki-laki untuk menghina atau merendahkan (gender) perempuan. Baik merendahkan secara verbal maupun gestural, dengan sasaran psikis maupun fisik, langsung ataupun tidak langsung.
Secara khusus, perkara "bau ikan asin" itu merendahkan gender perempuan karena mengalihragamkannya dari ragam "sosial-budaya" menjadi semata ragam "fisik". Artinya, perempuan di situ tidak dilihat sebagai insan sosial-budaya yang setara dengan laki-laki. Melainkan semata sebagai benda, yang jika aromanya tidak sedap (dan ini subjektif), maka layak untuk dibuang atau disingkirkan. Dalam kasus ini "diceraikan".
Saya kira sangat jelas bahwa perkara "bau ikan asin" ini termasuk kategori penghinaan berat karena menurunkan harkat perempuan dari "insan sosial-budaya" menjadi serendah "benda fisik". Ini mungkin tidak banyak disadari oleh laki-laki yang suka menghina perempuan pada aspek fisiknya, atau sebaliknya oleh perempuan terhadap laki-laki.
Terlalu sering kita mendengar ujaran atau menyaksikan gestur yang merendahkan seperti itu di ruang publik, semisal di tempat kerja, kendaraan umum, jalanan, tempat umum, televisi, dan Youtube. Seolah-olah hal semacam itu lumrah dan, lebih parah lagi, mungkin dianggap sudah menjadi "budaya" bangsa ini.
Laki-laki yang merendahkan perempuan seperti itu seolah kebal hukum. Kecuali dalam kasus-kasus perkosaan atau tindak pelecehan fisik yang vulgar. Tapi kalau melecehkan dengan ujaran semacam "bau ikan asin", dan banyak ujaran yang setara derajat penghinaaannya dengan itu, setahu saya belum pernah ada perkara yang masuk ke pengadilan.
Barangkali ada baiknya jika Komnas Perempuan dan juga aktivis kesetaraan gender satu kata dan aksi untuk mendorong perkara "bau ikan asin" ini naik ke pengadilan. Sudah waktunya "etika gender" ditegakkan dalam masyarakat kita. Sebab selama masih ada pembiaran terhadap penghinaan satu subjek gender terhadap subjek gender lainnya, maka omong kosong saja kita bicara soal kesetaraan gender.
Begitulah pandangan saya, Felix Tani, petani mardijker, yang berkomitmen memperjuangkan kesetaraan gender di sawah.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H