Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Nasruddin Hoja tentang Sengketa Pilpres 2019

20 Juni 2019   14:06 Diperbarui: 20 Juni 2019   14:20 723
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sidang sengketa hasil Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi (Foto: kompas.com)

Tadi malam saya bertemu Nasruddin Hoja, sufi cerdas kocak asli Turki yang sohor ke delapan penjuru bumi.  Saya dungu jika menyia-nyiakan kesempatan bertanya pada mullah Nasruddin Hoja.  Sebab bukankah dia tempat bertanya yang tak pernah kering jawaban menohok?

Maka saya (+) langsung memutuskan mewawancarai Nasruddin Hoja (-) perihal isu terpanas di Indonesia kini.  Apalagi kalau bukan persidangan sengketa hasil Pilpres 2019 oleh Kubu Prabowo-Sandiaga yang kini sedang bergulir di Mahkamah Konstitusi.

+Tentulah Mullah sudah membaca dan menonton perihal persidangan gugatan Kubu Prabowo-Sandiaga tentang hasil Pilpres 2019 yang sedang berlangsung di Mahkamah Konstitusi negara kami.  Bagaimana pandangan Mullah mengenai gugatan tersebut?

-Oh, ya. Saya sudah baca dan tonton. Kubu Prabowo-Sandi menggugat agar kemenangan Jokowi-Amin dibatalkan karena jumlah suara kemenangannya diperoleh dengan cara-cara curang, bukan?

+Tepat. Intinya seperti itu, Mullah.

-(Diam berpikir sejenak) Saya kira tuduhan kemenangan Jokowi-Amin karena berlaku curang itu kurang lebih seperti pengalaman saya waktu kehilangan kunci.

+Maksud, Mullah? (Saya mengerinyitkan dahi, kurang paham).

-Ini analogi saja.  Suatu malam saya kehilangan kunci di dalam rumah. Tapi kondisi rumah waktu itu gelap tanpa penerangan. Karena itu saya putuskan mencari kunci yang hilang itu di rumah tetangga. Karena di sana terang. 

+Mohon lebih jelas, Mullah. Saya belum paham.

-(Nasruddin menatap saya dengan sinar mata kasihan) Begini. Kubu Prabowo-Sandi itu menurut saya sebenarnya kehilangan suara di dalam rumah sendiri. Tapi dia mencari suara yang hilang itu di rumah Jokowi-Amin.

+(Saya manggut-manggut, mulai paham arah penjelasan Nasruddin).

-Kubu Prabowo-Sandi harusnya memeriksa dulu di dalam rumah sendiri mengapa sampai mereka kehilangan suara rakyat, sehingga kalah dalam Pilpres 2019 lalu.  Perpecahan dalam tubuh Koalisi 02, misalnya. Partai Demokrat cenderung lari. Suara PAN terbelah. PKS lebih peduli pada Pileg.   Belum lagi produksi hoaks yang berdampak kontra-produktif.  Tapi rupanya Kubu Prabowo-Sandi enggan untuk menyibak kegelapan itu. Karena itu berarti mengakui kesalahan dan kekalahan, bukan?

+Saya pikir tokoh-tokoh Kubu Prabowo-Sandi sebenarnya sudah tahu masalah itu, Mullah. Tapi mereka tetap yakin suara rakyat yang seharusnya menjadi milik mereka telah diambil Kubu Jokowi-Amin dengan cara-cara curang.

-Cara-cara curang bagaimana? Kejanggalan dana kampanye Jokowi-Amin? Ajakan Jokowi untuk putihkan TPS? Iklan Jokowi di Bioskop?  Dugaan penyalah-gunaan anggaran negara untuk kampanye? Penggelembungan suara untuk Jokowi-Amin dalam Situng KPU?  Himbauan agar PNS tidak netral?  Nah itulah yang mereka temukan di rumah tetangganya yang terang itu.  Dan semua masalah itu juga sudah terang duduk perkaranya. Semua itu tak membuktikan bahwa selisih suara kemenangan Jokowi-Amin didapatkan dengan cara-cara curang.

+Jadi, apakah menurut Mullah, kemenangan Jokowi-Amin murni diperoleh tanpa kecurangan?

-Saya tidak mengatakan begitu. Itu kesimpulanmu yang sok pintar.  Saya hanya mau mengatakan bahwa tuduhan bentuk-bentuk kecurangan Pilpres 2019 yang disampaikan Kubu Prabowo-Sandi tidak dengan sendirinya membuktikan bahwa selisih suara kemenangan Jokowi-Amin telah didapatkan dengan cara-cara yang curang.

+Baiklah, Mullah. Ijinkan saya menanyakan satu soal lagi. Kalau Mullah berada di posisi Hakim Mahkamah Konstitusi, kira-kira bagaimana keputusan Mullah atas perkara sengketa Pilpres 2019 ini?

-(Berpikir sejenak. Lalu menatapku dengan penuh selidik). Jangan mencobai saya. Saya memang pernah dihadapkan pada satu perkara pelik semacam ini. Seorang pengemis telah dituntut seorang pengusaha rumah makan. Pasalnya pengemis itu berterimakasih pada pengusaha tadi karena merasa dirinya kenyang setelah membaui aroma makanan pengusaha tadi. Karena itu pengusaha tersebut menuntut pengemis di pengadilan agar membayar aroma makanannya.

+(Sekali lagi saya mengerinyitkan dahi).

-(Nasrudin menatapku sambil tersenyum) Atas tuntutan pengusaha rumah makan itu, saya kemudian mengambil selembar uang, memegangnya di bawah cahaya lampu, dan menyuruh pengusaha yang tamak itu untuk mengambil bayangan uang tadi sebagai bayaran untuk aroma makananya.

+Sungguh hakim yang bijaksana engkau, ya Mullah.  Apakah menurut Mullah, klaim kemenangan Prabowo-Sandi sebenarnya hanya semacam aroma makanan? Jadi cukup diganjar dengan bayangan uang?

+Jangan sembarangan. Itu kesimpulan sembrono. Ingat, persidangan di Mahkamah Konstitusi sedang berjalan. Kekuatan barang bukti dan pernyataan saksi-saksi sedang diuji hakim. Jadi tidak bijak untuk mendahului keputusan para hakim Mahkamah Konstitusi. Lagi pula kau harus tahu, sekarang ini abad ke-21. Saya hidup di abad ke-13. Masa cara-cara pengadilan Abad ke-13 mau diterapkan di Abad ke 21? Hei, kau bangunlah.

Kalimat terakhir Nasruddin Hoja itu membuatku terbangun dari tidur. Kebanyakan baca dan nonton persidangan sengketa Pilpres 2019 di MK rupanya bisa juga menciptakan mimpi yang kocak seperti itu.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun