Hal serupa juga saya lakukan jika menulis artikel-artikel politik. Â Perhatikan bahwa begitu banyak MOL dan Medsos yang memuat artikel dengan isi yang serupa. Â Jadi apa dasarnya harus mendaftarkan satu artikel sebagai rujukan dan melupakan yang lainnya? Â Â
Saya memilih  memperlakukan semua artikel itu sebagai "data kualitatif" yang siap dikumpul, diolah, dan dianalisis.  Dari hasil analisis kemudian diproduksi sebuah narasi baru yang berbeda dari artikel-artikel berstatus "data" tadi.
Tapi memang ada kalanya perlu untuk mencantumkan judul artikel MOL atau Medsos dalam tulisan. Â Saya melakukan hal semacam itu jika menulis sesuatu yang menurut saya cukup sensitif. Â
Atau setidaknya paparan memerlukan presisi, agar tak ditafsir lain.  Saya lakukan itu misalnya saat mengutip pernyataan seseorang, misalnya Anies Baswedan, sebagaimana dituliskan dalam artikel. Lalu di ujung kalimat, dalam tanda kurung, saya tuliskan judul artikel sumber.  Â
Mungkin tetap ada yang tidak setuju argumen di atas.  Ya, silahkan saja.  Tapi satu hal yang perlu diingat, menulis artikel di Kompasiana misalnya bukanlah seperti menulis artikel untuk jurnal ilmiah.  Jadi tidak perlu harus mengikuti kaidah-kaidah ketat penulisan artikel ilmiah.  Kecuali memang Anda tipe orang gemar mempersulit diri.
Tentu, jika merujuk satu pandangan teoritis dari seorang ahli, maka wajib mencantumkan nama ahli tersebut dan judul tulisannya (buku atau artikel) dalam tubuh tulisan. Â Khrisna Pabichara kerap melakukan itu dan beliau memang teladan terbaik untuk kejujuran perujukan.
Tapi, seperti saya sebut di awal, kita berbicara tentang artikel MOL dan Medsos di sini. Â Bukan tentang artikel atau buku yang telah melewati seleksi editor ahli lalu diterbitkan secara konvensional atau online. Lazimnya isi artikel atau buku semacam itu bukan pengulangan, tapi selalu menampilkan suatu "kebaruan" (novelty) yang bersifat spesifik.
Beda dengan artikel MOL atau Medsos. Â Lazimnya adalah pengulangan-pengulangan penyiaran isu yang sama. Â Kerap dengan bumbu-bumbu subyektivitas, khususnya di Medsos. Â Karena itu, artikel-artikel semacam itu lebih tepat diperlakukan sebagai "data mentah" ketimbang "artikel rujukan".
Pada akhirnya, perlu disampaikan, Â bukan maksud saya memaksakan sebuah pendapat tentang perujukan artikel MOL dan Medsos di sini. Boleh setuju, boleh tidak, dengan argumentasi masing-masing. Â Tapi kalau toh mau lanjut berdiskusi, saya terbuka menerima ragam pandangan.
Begitulah sekadar pengantar diskusi dari  saya, Felix Tani, petani mardijker, tidak suka mempersulit diri dengan hal-hal yang tak perlu.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H