Nilai K-Rewards dari sudut pandang simbolik Felix Tani lebih besar dari nilai artikelnya. Sehingga dia akan berusaha memberi artikel yang lebih tinggi lagi nilainya. Dengan harapan mendapat K-Rewards yang lebih tinggi pula nilai simboliknya. Dengan cara itulah Kompasiana sebagai sebuah entitas medsos dapat tumbuh dan berkembang.
Soal "utang soto" itu kemudian menjadi amunisi sejumlah Kompasianer "cerdas tapi sableng" untuk merundung Felix Tani. Â Nnyaris setiap hari selama sebulan lebih di Kompasiana. Â Kompasianer Pebrianov secara khusus bahkan menulis satu "artikel perundungan" yang sistematis, masif, terstruktur, dan "nggilani" (baca: "Pasca Pilpres 2019, K-Rewards Memakan Korban Seorang Kompasianer", K.05.05.19). Â Â
Tapi semua perundungan itu sejatinya adalah  pernyataan solidaritas terhadap Felix Tani.  Terkait pentingnya pemberian berupa artikel diganjar imbalan berupa K-Rewards.
Maka ketika Felix Tani kemudian berhasil meraih K-Rewards pada urutan ketujuh, maka hal itu dipahami sebagai kemenangan gagasan.  Gagasan bahwa  "artikel Kompasianer adalah pemberian yang dilekati harapan akan imbal-balik dari Admin K".  Itulah alasan kehebohan menyambut keberhasilan Felix Tani tadi.  Walau nominalnya kecil tapi maknanya sungguh besar.Â
***
Saya ingin menutup artikel ini dengan mengapresiasi  Admin K atas inovasi monetisasi artike, khususnya K-Rewards. Inovasi itu telah melengkapi proses sosial memberi, menerima, dan mengganjar menurut Mauss dalam entitas Kompasiana. Itu telah membentuk ikatan solidaritas antara Kompasianer dan Admin K, juga antar Kompasianer, sehingga Kompasiana dapat berjaya secara berkelanjutan.
Tapi sudilah mendengar  sedikit kritik.  Faktanya yang diganjar K-Rewards adalah artikel yang terbanyak capaian UV tanpa menimbang mutunya.  Padahal banyak artikel bermutu di Kompasiana tapi sepi raihan UV.  Sehingga penulisnya, yang telah menyerahkan diri sepenuhnya dalam wujud artikel,  tak akan pernah kebagian K-Rewards.  Untuk ini, demi keadilan, Admin K perlu menemukan cara pemberian imbal-balik yang selayaknya.
Demikianlah catatan saya, Felix Tani, petani mardijker, doyan main lumpur sawah tapi melek monetisasi artikel.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H