Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Valid dan Etiskah Penelitian Memakai Google Form?

28 Mei 2019   12:37 Diperbarui: 7 Juli 2021   21:57 4356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Valid dan Etiskah Penelitian Memakai Google Form? (Foto: dailysocial.id)

Akhir-akhir ini di ruang komentar artikel Kompasiana ada beberapa orang "Kompasianer" (?) yang mampir dengan permintaan agar sudi mengisi kuesioner pada link ini. Katanya dalam rangka penelitian (survey) "Motif Kompasianer Menjadi Jurnalis Warga".

Sebenarnya pelaksanaan survey semacam itu merupakan bentuk pengakuan pada blog ombyokan Kompasiana. Artinya, blog gotong-royong ini dinilai sebagai suatu "komunitas media sosial" yang terkemuka dan berpengaruh signifikan, sehingga menarik untuk diteliti. Jika alasannya seperti itu, maka sebuah survey tentang "motif" sebenarnya terlalu kecil.  

Blog Kompasiana dan komunitas Kompasianer-nya sejatinya adalah lahan riset media sosial yang kaya isu. Semisal dampaknya pada tingkat kemampuan literasi digital, pembentukan solidaritas sosial, pembentukan opini politik, dan lain sebagainya.

Baca juga :MAHASISWA KKN UNS Membuat Program Kuisioner Edukasi untuk Meningkatkan Pemahaman Warga tentang Covid-19

Masalah Validitas

Kembali pada permintaan untuk mengisi kuesioner on-line (fasilitas google form, https://docs.google.com/forms) tadi, dengan segala maaf, saya belum bisa memenuhinya. Bukan karena isu risetnya menurut saya "kecil" tapi lebih karena masalah keraguan saya pada validitas data yang dihasilkan oleh instrumen (kuesioner) on-line semacam itu.

Intinya saya meragukan kemampuan teknik wawancara on-line, dalam hal ini penggunaan instrumen on-line "google form", untuk menangkap informasi atau data yang "sebenarnya". 

Alasannya, seorang responden (penjawab pertanyaan wawancara) "bukan orang yang sepenuhnya jujur dan terbuka". Karena itu, dalam penelitian survey yang serius, wawancara dengan responden dilakukan secara tatap muka. Tujuannya untuk menilai kejujuran dan keterbukaan responden dari ekpresi wajah, volume suara, tempo bicara, gestur dan lain-lain.  

Baca juga : Pengembangan Kuisioner Penelitian

Jika pewawancara menilai responden belum terbuka, atau belum bicara jujur sesuai kenyataan atau keadaan sebenarnya, maka dilakukanlah "probing" atau pertanyaan pendalaman. Sebab mungkin ada hambatan-hambatan psikologis pada diri responden untuk mau jujur dan terbuka.

Hambatan psikologis utama sudah pasti adanya jarak sosial antara "responden" dengan "pewawancara" (peneliti). Kedua pihak asing satu sama lain. Baru bertemu saat wawancara, untuk 2-3 jam pembicaraan. Bagaimana mungkin berharap responden bisa langsung bicara jujur dan terbuka kepada pewawancara?

Jika pertanyaannya bersifat umum, semisal makanan kesukaan, maka tidak menjadi masalah. Tapi jika sudah masuk pada pertanyaan sensitif, semisal jumlah utang ke tukang soto, maka masalah timbul. Responden bisa saja berpikir pewawancara itu suruhan tukang soto untuk menagih utang, sehingga dia bohong bilang tidak punya utang.

Karena itu, pada survey yang mengumpul data yang bersifat pribadi dan sensitif, wawancara biasanya tidak cukup hanya satu kali dua jam. Lazimnya, karena ada tuntutan "probing", bisa sampai dua atau tiga kali kunjungan, untuk memastikan responden sudah memberi jawaban yang (mendekati) keadaan sebenarnya.

Baca juga : Kuisioner Online Salah Satu Aplikasi Google Form

Masalah Etika

Nah, kembali ke metode wawancara on-line mengggunakan instrumen "google form" tadi, saya tidak kenal dengan pewawancara/penelitinya bukan? Jadi bagaimana saya bisa percaya bahwa dia memang benar-benar seorang peneliti professional yang terikat kode etik? Saya bisa saja mencurigai dia hanya ingin tahu nama lengkap dan alamat e-mail saya, bukan? Mungkin untuk "dijual" kepada marketer on-line, atau mengirimkan e-mail godaan kepada saya? 

Mungkin ada yang bilang saya phobia, atau tidak menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi komunikasi yang sudah memasuki Era 4.0. Tidaklah. Saya hanya berpegang pada prinsip bahwa penelitian sosial, termasuk survey, terikat pada perangkat etika penelitian.  

Etika yang saya maksud, sekurangnya, pertama, peneliti (pewawancara) harus memperkenalkan diri secara selayaknya. Kedua, menjelaskan topik, tujuan, dan kegunaan penelitiannya. Ketiga, memberitahukan identitas lengkap instansi yang mendukung penelitiannya. 

Semua informasi tersebut seharusnya bisa disediakan dalam situs institusinya. Pewawancara atau peneliti cukup menyertakan link-nya saja untuk diakses calon responden.   

Setelah menimbang kualitas informasi tersebut, barulah calon responden bisa mengambil keputusan untuk mengisi atau melupakan saja kuesioner on-line itu.

Saya pikir, minusnya etika penelitian dalam wawancara on-line itu adalah masalah serius pada riset-riset yang menggunakan jasa "google form". Harus ada solusinya. Supaya responden benar-benar merasa aman untuk menjawab pertanyaan dalam kuesioner. Tidak ada ketakutan bahwa datanya akan digunakan untuk tujuan-tujuan yang bisa mencelakakan dirinya sendiri.

Masalahnya efisiensi, karena mudah dan praktis, yang ditawarkan kemajuan teknologi informasi digital selalu jauh di depan solusi etika.   Begitulah penggunaan "google form" dalam survey itu belum didukung oleh rumusan etika penelitian dalam era Teknologi Infomasi 3.0 ataupun 4.0.

Tentu saya sedang berbicara tentang penelitian survey yang bersifat serius di sini. Bukan survey ecek-ecek seperti yang dilakukan anak SMA untuk penulisan tugas karya ilmiahnya.   

Anak saya misalnya melakukan itu dengan memanfaatkan "google form" dengan mengambil responden dari lingkungan teman-teman satu sekolahnya. Saya menganggap hal itu sebagai latihan survey saja, bagian dari pendidikan.

Sebenarnya, jauh sebelum era internet datang, wawancara jarak jauh sudah lazim dilakukan untuk penelitian berlingkup luas, misalnya skala nasional. Saluran komunikasi yang digunakan adalah telepon dan surat pos.  

Tapi itu dilakukan dengan menerapkan metode pemilihan responden yang ketat di awal. Lewat komunikasi telepon atau surat, peneliti memperkenalkan diri, institusinya, serta tujuan penelitiannya, juga dampaknya kepada responden. Lazimnya juga mengambarkan manfaatnya secara langsung atau tidak langsung bagi responden.

Hal seperti itu tidak terjadi dalam penelitian menggunakan "google form". Formulir pertanyaan langsung disebar pada satu "populasi", semisal "populasi Kompasianer".   Yang ditetapkan hanya target jumlah responden, misalnya minimal 30 orang atau 300 orang atau 3,000 orang, tergantung pada ukuran populasi dan jenis uji statistik yang akan digunakan. Jadi, di sini responden tidak dipilih peneliti, tapi "memilih diri sendiri" sebagai responden. Proses ini sejatinya tak memenuhi kaidah pemilihan responden.

Akhirnya saya perlu garis-bawahi di sini bahwa metode wawancara on-line menggunakan "google form" itu kemungkinan rendah validitas datanya, karena faktor etika penelitian yang dilupakan dalam pelaksanaannya.  Jika hendak menggunakan metode itu, maka persoalan etika penelitian dalam era Teknologi Komunikasi 3.0 atau 4.0  harus dibereskan dulu.

Begitu saja dari saya, Felix Tani, petani mardijker, sedang meneliti masalah kesejajaran perilaku tikus dan perilaku koruptor.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun