Jika pertanyaannya bersifat umum, semisal makanan kesukaan, maka tidak menjadi masalah. Tapi jika sudah masuk pada pertanyaan sensitif, semisal jumlah utang ke tukang soto, maka masalah timbul. Responden bisa saja berpikir pewawancara itu suruhan tukang soto untuk menagih utang, sehingga dia bohong bilang tidak punya utang.
Karena itu, pada survey yang mengumpul data yang bersifat pribadi dan sensitif, wawancara biasanya tidak cukup hanya satu kali dua jam. Lazimnya, karena ada tuntutan "probing", bisa sampai dua atau tiga kali kunjungan, untuk memastikan responden sudah memberi jawaban yang (mendekati) keadaan sebenarnya.
Baca juga : Kuisioner Online Salah Satu Aplikasi Google Form
Masalah Etika
Nah, kembali ke metode wawancara on-line mengggunakan instrumen "google form" tadi, saya tidak kenal dengan pewawancara/penelitinya bukan? Jadi bagaimana saya bisa percaya bahwa dia memang benar-benar seorang peneliti professional yang terikat kode etik? Saya bisa saja mencurigai dia hanya ingin tahu nama lengkap dan alamat e-mail saya, bukan? Mungkin untuk "dijual" kepada marketer on-line, atau mengirimkan e-mail godaan kepada saya?Â
Mungkin ada yang bilang saya phobia, atau tidak menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi komunikasi yang sudah memasuki Era 4.0. Tidaklah. Saya hanya berpegang pada prinsip bahwa penelitian sosial, termasuk survey, terikat pada perangkat etika penelitian. Â
Etika yang saya maksud, sekurangnya, pertama, peneliti (pewawancara) harus memperkenalkan diri secara selayaknya. Kedua, menjelaskan topik, tujuan, dan kegunaan penelitiannya. Ketiga, memberitahukan identitas lengkap instansi yang mendukung penelitiannya.Â
Semua informasi tersebut seharusnya bisa disediakan dalam situs institusinya. Pewawancara atau peneliti cukup menyertakan link-nya saja untuk diakses calon responden. Â Â
Setelah menimbang kualitas informasi tersebut, barulah calon responden bisa mengambil keputusan untuk mengisi atau melupakan saja kuesioner on-line itu.
Saya pikir, minusnya etika penelitian dalam wawancara on-line itu adalah masalah serius pada riset-riset yang menggunakan jasa "google form". Harus ada solusinya. Supaya responden benar-benar merasa aman untuk menjawab pertanyaan dalam kuesioner. Tidak ada ketakutan bahwa datanya akan digunakan untuk tujuan-tujuan yang bisa mencelakakan dirinya sendiri.
Masalahnya efisiensi, karena mudah dan praktis, yang ditawarkan kemajuan teknologi informasi digital selalu jauh di depan solusi etika. Â Begitulah penggunaan "google form" dalam survey itu belum didukung oleh rumusan etika penelitian dalam era Teknologi Infomasi 3.0 ataupun 4.0.