Kunjungan Pak Jokowi ke Kalimantan Timur baru-baru ini seolah mengunci pilihan lokasi baru Ibu Kota RI. Pertama, Bukit Soeharto, Kawasan Tahura Samboja, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Kedua, dan ketiga, kota Palangkaraya dan Bukit Nyuling Manuhing, Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Tiga calon lokasi itu memenuhi syarat umum tidak rawan gempa dan berada di tengah wilayah Indonesia.Â
Tapi sebelum pilihan ditetapkan dan diputuskan, boleh-boleh saja mengusulkan lokasi lain, bukan? Pak Jusuf Kalla misalnya sudah mengajukan Mamuju, Sulawesi Barat, serta Parepare dan Makasar di Sulawesi Selatan. Sayangnya tiga lokasi itu, walau berada di tengah wilayah Indonesia, terkenal rawan gempa sehingga tak memenuhi syarat.
Nah, mumpung lagi demam "pindahan ibu kota" saya juga mau usulkan satu pilihan lokasi baru ibu kota yang sangat eksotis. Itulah Samosir, tepatnya Pulau Samosir, Sumatera Utara, yang berada di tengah Danau Toba yang permai itu.
Coba bayangkan, kalau ditanya "Apa nama ibu kotanya?" lalu dijawab "Pulau Samosir!", wow, bukankah itu terdengar eksotis dan keren?
Sebagai calon lokasi ibu kota tentu penting memahami geografi Samosir, pulau eksotis yang boleh dijuluki "jantung Sumatera Utara".
Perlu diketahui aslinya Samosir itu bukan pulau. Tapi semenanjung yang bertangkai sempit di kaki Gunung Pusukbuhit, di kota Pangururan, sisi barat Danau Toba. Semenanjung ini menjadi pulau sejak Terusan Wilhelmina, setempat disebut "Tano Ponggol", digali memotong tangkainya tahun 1905-1910. Penggalian dilakukan secara manual dengan kerja rodi di bawah perintah  L.C. Welsink, Residen Tapanuli, Hindia Belanda waktu itu. Â
Berada di ketinggian 1,000 mdpl, pulau seluas 630 km2 ini terbentuk bersamaan dengan Danau Toba, sebagai hasil letusan mahadahsyat (8.0 Volcanic Explosivity Index) Gunung Raksasa (Super Volcano) Toba sekitar 73,000-75,000 tahun lalu.Â
Samosir adalah kubah yang terangkat di tengah kaldera Toba dari perut bumi akibat desakan magma. Bagian kaldera sekelilingnya kemudian terisi air menjadi Danau Toba, seluas 1,130 km2, panjang 100 km dan lebar 30 km.
Bagian barat pulau itu, wilayah Pangururan sampai Palipi, tergolong landai dan paling subur. Di bagian itulah sebuah komplek ibu kota saya bayangkan dibangun.
Jumlah penduduk pulau ini diperkirakan 100,000 jiwa (total Kabupaten Samosir 125,000 jiwa, angka 2015). Hampir seluruhnya etnik Batak, dengan agama mayoritas Kristen Protestan dan Katolik. Pemeluk Islam dan agama asli Parmalim adalah kelompok minoritas di sana.Â
Secara historis pulau Samosir dihuni oleh marga-marga Batak Toba dari belahan Lontung, keturunan Si Raja Ilontungon. Marga-marga ini mencakup Situmorang, Sinaga, Pandiangan, Nainggolan, Simatupang, Aritonang, dan Siregar. Pusat "kerajaan"-nya dulu ada di Desa Urat, Kecamatan Palipi sekarang.
Tidak ada konflik antar kelompok agama yang berbeda di pulau ini. Sebab hubungan kekerabatan "Dalihan Na Tolu" sejauh ini masih berperan sebagai simpul harmoni relasi sosial antar warga, di atas perbedaan agama. Konflik yang lazim di sana adalah sengketa agraria antar warga, atau antar warga dengan pemerintah atau pengusaha swasta.
Mata pencaharian utama penduduk Pulau Samosir adalah bertani, dengan komoditas utama padi dan bawang merah. Selain bertani, sumber nafkah lainnya tentu saja perikanan danau dan industri pariwisata.
Tingkat kemakmuran penduduk Samosir boleh dikatakan sedang-sedang saja. Jumlah penduduk miskin Kabupaten Samosir per Maret 2018 masih tercatat 13.38 persen. Artinya, kemiskinan masih menjadi persoalan serius di pulau ini.
 ***
Jika Pulau Samosir menjadi ibu kota baru, misalnya dengan mengambil pantai barat yang luas dan landai sebagai lokasi, maka ada dua bidang yang diharapkan mengalami peningkatan di sana.
Pertama, ekonomi Samosir diharapkan tumbuh pesat. Kehadiran ibu kota di situ akan memicu pertumbuhan pusat-pusat kegiatan ekonomi baru di bidang agribisnis dan wisata. Hanya dua bidang ini yang dibolehkan, demi keselamatan ekologi Samosir. Kemajuan di dua bidang itu akan mengangkat ekonomi rakyat setempat.
Kedua, ekologi Samosir. Pulau ini sebenarnya untuk sebagian sudah mengalami kerusakan ekologis, terutama akibat adanya konsesi penebangan hutan di tengah pulau. Kehadiran ibu kota di pulau itu diharapkan mempersyaratkan pemulihan ekologi Samosir.
Artinya, ibu kota yang dibangun bukan saja harus selaras alam tapi, lebih dari itu, bersifat mendorong peningkatan kondisi ekologis Pulau Samosir. Jika tidak begitu, lupakan ide menjadikan Samosir sebagai sebuah ibu kota.
Dua aspek itu, pembangunan ekonomi dan ekologi Samosir, bukan saja akan meningkatkan kesejahteraan warga pulau itu, tapi juga warga luar-pulau yang mendapatkan dampak multipliernya.
Tapi tunggu dulu. Bukankah Pulau Samosir berada di ujung barat Indonesia, tepat di garis "ring of fire" yang rawan gempa? Ya, benar. Ada masalahkah?
Ya, itu tidak memenuhi syarat untuk Ibu Kota Negara RI. Lha, memang tidak. Dari awal juga saya tidak bilang untuk Ibu Kota Negara, bukan? Saya sedang berpikir tentang pemindahan Ibu Kota Sumatera Utara dari Medan ke Pulau Samosir.
Pulau Samosir sangat strategis menjadi lokasi ibu kota baru untuk Sumatera Utara. Letaknya yang persis di tengah dapat membuatnya menjadi  titik simpul pemerataan ke segala arah daerah. Tidak seperti sekarang, memusat di utara (utara sentris), sehingga daerah selatan tergoda memisahkan diri menjadi propinsi tersendiri. Semisal niatan membentuk Provinsi Tapanuli.
Demikianlah gagasan saya, Felix Tani, petani mardijker, bukan orang Samosir tapi cinta pada pulau eksotis ini.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H