Baru saja diberitakan, ternyata Gubernur Jakarta Anies Baswedan sudah memiliki tiga solusi banjir Jakarta yang akan ditempuh. (kompas.com, 2/5/19).
Pertama, solusi sumber banjir di hulu yaitu memperbanyak pembangunan waduk kering atau kolam retensi di daerah Bogor. Tujuannya untuk mengontrol debit aluran air sungai ke Jakarta di hilir pada tingkat aman, khususnya di musim penghujan. Dengan begitu tidak ada lagi "banjir kiriman".
Kedua, solusi di hilir dengan melanjutkan pembangunan tanggul penahan banjir rob di garis pantai utara Jakarta. Dengan begitu aliran banjir rob ke daratan akibat kenaikan permukaan air laut dapat dihempang.
Ketiga, solusi di tengah berupa pembangunan sumur-sumur resapan (drainase vertikal) untuk mengurangi debit aliran permukaan saat hujan turun. Ini memitigasi penyempitan ruang terbuka hijau sebagai daerah resapan air akibat meluasnya tutupan beton dan aspal di Jakarta.
Sepintas tiga solusi yang diumumkan Pak Anies itu terdengan sangat komprehensif, terpadu dari hulu ke tengah sampai hilir. Jika semata menilai berdasar kesan sepintas itu, maka orang bisa tergoda menyimpulkan bahwa Pak Anies itu sangat menguasai masalah dan solusi banjir di Jakarta.
Tapi sejatinya tidaklah begitu. Jika paparan solusi Pak Anies diperiksa lebih dalam maka segera tampak "lubang-lubang" yang menandakan dia sesungguhnya tidak sepenuhnya menguasai masalah dan solusi banjir Jakarta.
Saya akan coba tunjukan "lubang-lubang" tersebut secara ringkas di sini. Pertama dengan cara memeriksa-ulang kelengkapan solusi hulu-tengah hilir yang diungkap Pak Anies dan kedua, memeriksa implementasinya.
***
Lubang pertama adalah hilangnya "badan air dan daerah aliran sungai (DAS): dari solusi terpadu hulu-tengah-hilir yang disampaikan Pak Anies.
Itu sangat aneh mengingat simpul masalah banjr di Jakarta sebenarnya adalah "sakit"-nya ekosistem sungai yang melintasi Jakarta mulai dari hulu sampai hilir.
"Penyakit" sungai-sungai yang melintas di Jakarta sudah pada stadium parah. Di sektor DAS hulu, tepatnya di daerah Bogor khususnya Puncak dan Tangerang, "daerah tangkapan air" (DTA) sudah menyempit akibat "diserobot" untuk pemukiman dan perhotelan. Lalu di sepanjang sungai, koridor bantaran hijau di kiri dan kanan nyaris habis dikonversi menjadi area pemukiman, jasa dan industri.
"Penyakit" sungai di sektor tengah sampai hilir, ditandai penyempitan lebar badan sungai akibat pembangunan tembok penahan tanah (talut) dalam rangka okupasi. Dasar sungai yang mendangkal akibat endapan lumpur dan limbah padat. Serta aliran air melambat akibat hempangan sampah yang dibuang warga dan pelaku industri ke selokan dan badan sungai.
Di sektor hilir, di daerah Jakarta, kawasan rawa dan bakau di muara yang semestinya berfungsi sebagai daerah tangkapan air telah habis ditimbun untuk pemukiman (termasuk pemukiman mewah), perkantoran dan niaga. Ini memperparah "sakit"-nya sungai-sungai di Jakarta.
Implikasi hilangnya "badan air dan DAS" dari solusi banjir Jakarta menurut Pak Anies itu, pertama, adalah hilangnya rencana "naturalisasi sungai" yang pernah dicanangkannya. Untuk diketahui, istilah "naturalisasi sungai" ini sejatinya setali tiga uang dengan "normalisasi sungai" yang telah intensif dilakukan Pemerintah Jakarta sebelumnya.
Bisa diduga hilangnya "naturalisasi sungai" itu bukan tanpa alasan. Dengan tak menyebut solusi itu, Pak Anies telah mengamankan salah satu janji kampanyenya yaitu "mengatasi banjir tanpa menggusur". Sebab "naturalisasi sungai", tidak bisa tidak, akan berimplikasi pelebaran badan sungai (seperti sedia kala) dan pembebasan bantaran sungai dari segala rupa bangunan. Tak bisa lain, itu berarti penggusuran rumah dan bangunan komersil sepanjang bantaran.
Implikasi kedua dari hilangnya penanganan "badan air dan DAS" adalah peniadaan upaya konservasi lingkungan DAS, khususnya DTA di daerah hulu khususnya Kabupaten Bogor dan Tangerang. Sebab penyempitan DTA di hulu, juga penggundulan tutupan hijau, telah meningkatkan aliran permukaan (run off) air hujan. Ini salah satu penyebab utama "banjir kiriman".
Artinya, jika Jakarta tak ingin mendapat "banjir kiriman", maka pemerintahnya harus membayar dalam bentuk dana hibah kepada Pemda daerah penyangga yaitu Bogor dan Tangerang. Dana itu untuk sebagian mesti digunakan untuk konservasi DAS/DTA.
Sebagian lagi, sebagai kompensasi pendapatan asli daerah, bisa digunakan untuk pembangunan infrastruktur pengendali sumber banjir dan kemacetan Jakarta di daerah Bogor dan Tangerang.
Sebenarnya Pemda Jakarta sudah menyetujui alokasi dana hibah pembangunan tahun 2019 untuk daerah-daerah penyangga. Khususnya Kabupaten Bogor, Kota Depok, dan Kabupaten Tangerang.
Namun penggunaan dana itu ternyata antara lain hanya untuk revitalisasi situ (Depok) dan pembangunan talut sungai (Tangerang). Serta untuk pengadaan jaring apung sampah dan pembangunan sumur resapan (Bogor). Tidak ada alokasi anggaran khusus untuk konservasi DAS/DTA.
***
Lantas bagaimana implementasi tiga solusi banjir yang disampaikan Pak Anies dan bagaimana peran Pemda Jakarta dalam praktiknya?
Pertama, solusi waduk di daerah hulu. Yang dimaksud Pak Anies adalah pembangunan "bendungan kering" (dry dam) oleh Kementerian PUPR di Ciawi dan Sukamahi, Kabupaten Bogor. Pelaksananya Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Ciliwung Cisadane yang mengikat kontrak dengan perusahaan kontraktor.
Dua bendungan kering itu dimaksudkan untuk menampung limpahan air saat musim hujan, sehingga risiko "banjir kiriman" ke Jakarta dapat ditekan. Volume tampung Bendungan Ciawi 6,45 juta m3 air (365 m3/detik), dan bendungan Sukamahi 1,68 juta m3 (56 m3/detik). Target penyelesaian tahun 2020.
Pembangunan dua bendungan itu adalah hasil kesepakatan tiga Pemda (Jakarta, Jabar, Banten) pada masa pemerintahan Gubernur Jokowi tahun 2014. Pelaksanaannya ditangani Kementerian PUPR dengan menggunakan dana APBN murni.
Artinya, dengan menyebut solusi pembangunan waduk di hulu, sebenarnya Pak Anies sedang menagih peran serta Pemerintah Pusat. Juga gagasan menambah jumlah waduk, bermakna menuntut tambahan dana APBN untuk pembangunan waduk-waduk di daerah hulu.
Kedua, solusi tanggul pesisir pantai Jakarta (bukan tanggul laut raksasa). Ini sebenarnya bagian dari masterplan National Capital Integrated Coastal Development (NCICD). Targetnya rentangan 120 km tembok yang melintasi garis pantai Banten, Jakarta, dan Jawa Barat. Tembok itu dimaksudkan menangkal limpasan rob ke daratan akibat kenaikan permukaan air laut.
Sumber pembiayaan tanggul pesisir itu sejauh ini masih APBN. Ke depan direncanakan pembiayaan bersama dengan sumber APBD Jakarta dan unsur swasta yang berbisnis di pesisir Jakarta.Â
Pembangunan tanggul Fase A yang sudah dimulai, bahkan sudah mendekati selesai, di tiga lokasi (Kamal Muara, Pasar Ikan, dan Kali Blencong Marunda, Jakarta Utara) masih menggunakan dana APBN.
Sekali lagi, dengan menyebut solusi pembangunan tanggul pantai, Pak Anies sedang menuntut peran Pemerintah Pusat dalam penanggulangan banjir Jakarta. Sebesar apa komitmen Pemda Jakarta dalam proyek itu, khususnya porsi APBD yang dialokasikan ke sana, sejauh ini belum jelas.
Ketiga, solusi sumur resapan. Ini sebenarnya bukan hal baru. Itu sudah diatur dalam Pergub Nomor 20 Tahun 2013 tentang Sumur Resapan.
Pasal 3 Pergub itu mengatur kewajiban pembuatan sumur resapan bagi perorangan dan badan hukum pemilik bangunan dan bangunan gedung yang menutup permukaan tanah dan pemohon pengguna air tanah.
Secara khusus perorangan dan badan hukum yang membangun di atas lahan 5.000 m2 atau lebih diwajibkan menyisihkan 1 persen dari luas lahan untuk menjadi kolam resapan (di luar perhitungan sumur resapan).
Khusus bagi pemilik bangunan yang berfungsi sebagai rumah tinggal yang tidak mempunyai lahan untuk membuat sumur resapan, Pemda memfasilitasi pembuatan sumur resapan secara komunal (Pasal 4).
Jadi, jika Pak Anies bicara solusi "vertical drainage", atau sumur resapan (dangkal/sedang/dalam), dia sebenarnya sedang bicara tentang penegakan Pergub Nomor 20/2013, baik menyangkut gedung pemerintah, bangunan swasta, maupun rumah-rumah warga. Fungsi Pemda Jakarta di situ adalah memastikan kewajiban pembangunan sumur resapan menurut Pergub tersebut.
Pergub Nomor 20/2013 itu tentu sudah didasarkan pada hasil studi tentang dampak positif sumur resapan untuk mengendalikan banjir dan volume air tanah. Jadi kalau sampai saat ini Pemda masih sibuk uji coba dampak positif sumur resapan, misalnya perpendekan waktu genangan, maka hal itu jelas pekerjaan mubazir.
Sekarang waktunya menegakkan Pergub tentang sumur resapan itu. Tugas Pak Anies di situ, selaku Gubernur Jakarta, memastikan setiap bangunan di Jakarta telah dilengkapi dengan sumur resapan. Tidak lebih tidak kurang dari itu.
***
Sebagai kesimpulan, terkait tiga solusi banjir Jakarta yang disebut Pak Anies itu, peran Pak Anies sejauh ini adalah, pertama, memantau kemajuan pembangunan dua waduk oleh Kementerian PUPR di Kabupaten Bogor.
Kedua, memantau kemajuan dan kelanjutan pembangunan tanggul pantai pengendali rob di pesisir utara Jakarta, yang pelaksanaannya dipimpin Kementerian PUPR.
Ketiga, menegakkan pelaksanaan Pergub Nomor 20/2013 tentang kewajiban pembangunan sumur/kolam resapan air untuk bangunan-bangunan di daerah Jakarta.
Dengan tiga peran tersebut, apakah berlebihan jika disimpulkan untuk saat ini Pak Anies sebenarnya hanya berperan sebagai "mandor banjir Jakarta"? Maksud saya, Pak Anies "memandori" pelaksanaan proyek waduk dan tembok pantai Kementerian PUPR dan penegakan Pergub "sumur resapan".
Karena itu tak perlu heran jika setelah memantau banjir Jakarta baru-baru ini, Pak Anies cuma "menyesalkan" waduk hulu yang belum selesai, sumur resapan yang belum terealisasi optimal, dan tanggul pesisir yang masih perlu dilanjukan.
Sambil juga membandingkan banjir di masa pemerintahan sebelumnya lebih parah, tanpa mengakui "kekurang-parahan" sekarang adalah hasil proses solusi sejak pemerintahan sebelumnya itu. Bukankah itu cara kerja "mandor".
Bukan itu sebenarnya yang ingin didengar dari Pak Anies, tapi implementasi gagasan orisionilnya tentang "naturalisasi sungai" di Jakarta.
Sebab jika dilakukan, gagasan itu sangat inovatif dan berpotensi sebagai pendekatan baru solusi banjir. Sayangnya, Pak Anies cenderung menghindar bicara "naturalisasi" itu.
Demikian penilaian dan pendapat saya, Felix Tani, petani mardijker, suka air ogah banjir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H