Hari ini mestinya bukan lagi saatnya mempertengkarkan siapa Presiden RI 2019-2024 terpilih. Â Cukup dengan sedikit saja kemampuan berpikir obyektif, sudah bisa disimpulkan Jokowilah orangnya. Â Hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei terakreditasi telah menunjukkan Jokowi-Ma'ruf memenangi Pilpres 2019 dengan raihan suara 55 persen.
Juga bukan saatnya lagi meragukan legitimasi Jokowi sebagai Presisen RI terpilih, semata-mata karena alasan raihan suara pemilihnya hanya 55 persen. Sebab legitimasi bukanlah suatu angka statis, melainkan suatu proses dinamis.Â
Bukan raihan jumlah pemilih yang menjadi indikator legitimasi, walaupun itu bisa dianggap sebagai salah satu variable gayut, melainkan pengakuan dan penerimaan rakyat terhadap kebijakan dan program pembangunan yang dilaksanakan seorang presiden. Â Atau, lazim disebut, tingkat partisipasi rakyat dalam kebijakan dan program pembangunan.
Keliru jika menganggap angka 45 persen suara yang tak memilih Jokowi ditafsirkan sebagai indikasi kekuatan illegitimasi. Â Memilih dan menerima adalah dua hal yang berbeda sama sekali. Â Boleh 45 persen pemilih tidak memilih Jokowi saat Pilpres 2019. Â Tapi sepanjang tahun 2019-2024 mereka tak punya pilihan lain kecuali menerima Jokowi sebagai Presiden RI. Â Begitulah etika demokrasi Pancasila kita.
Dengan pengantar itu, saya ingin katakan, sikap dan tindakan yang tepat sekarang ini adalah mendukung Presiden Terpilih Jokowi, agar dapat menunaikan visi, misi, kebijakan, dan program-program pembangunan lima tahun ke depan dengan hasil terbaik untuk memakmuran berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.Â
Saya ingin memulainya dengan mengangkat satu pesan penting dari Sandiaga Uno yang mengemuka sepanjang Debat Capres/Cawapres yang lalu. Â Pesan penting yang saya maksud adalah "pesimisme mikro" yang harus dikelola Jokowi, agar tidak tumbuh menjadi "pesimisme makro" yang bisa menggoyahkan legitimasi kekuasaan Jokowi selaku Presiden RI.
***
 "Pesimisme mikro" yang bersifat kualitatif sejatinya adalah sebuah pendekatan untuk memfalsifikasi atau menunjukkan kepalsuan dari "optimisme makro" yang bersifat kuantitatif. Â
Satu contoh dari masa kampanye Pilpres 2019. Â Jokowi bilang bahwa inflasi terkendali dan harga-harga kebutuhan pokok secara nasional terkendali (ini optimisme makro). Â Sandiaga lalu memfalsifikasinya dengan mengungkap kisah Ibu Lia (Pekanbaru) yang hanya bisa beli bawang dan cabai dengan uang Rp 100,000, atau kisah Ibu Yuli (Jakarta) yang mengeluhkan tempe setipis kartu ATM (ini pesimisme mikro).
Sewaktu Debat Capres/Cawapres, Sandiaga sering menggunakan pendekatan "pesimisme mikro" semacam itu untuk memfalsifikasi atau menyanggah klaim "optimism makro" Jokowi.  Ingat kisah-kisah berikut?  Pak  Najib (Karawang) dipersekusi Pokmaswas karena mengambil pasir dari tanah timbul untuk mangrove (isu HAM). Â
Salsabila (Pamekasan) mengeluh kurikulum terlalu berat dan tidak terpakai saat kerja (isu pendidikan).  Ibu Mia (Tegal) mengeluh tagihan  listriknya naik dari Rp 400 ribu menjadi  Rp 1 juta (isu ekonomi biaya tinggi).  Â