Intinya, Mulajadi Na Bolon telah menciptakan manusia untuk hidup berdaulat di bumi, memenuhi nafkah dari pemanfaatan kekayaan tanah secara selaras alam (simbol akar hariara), lalu tumbuh ke atas dengan orientasi pada Yang Maha Kuasa (simbol pucuk hariara lurus ke langit), dan pada saat bersamaan melebar ke samping untuk berbagi sumber hidup dengan sesama (dahan hariara yang terentang, sangkamadeha) sesuai dengan jalan hidup yang dipilih manusia atas restu ilahi.
Sayangnya, ketika Kekristenan masuk dan meluas ke Tanah Batak sejak akhir abad ke-19, Gereja melarang keyakinan asli tentang Hariara Sundung di Langit. Karena dinilai sebagai keyakinan Sipele Begu (Penyembah Roh, animisme), suatu keyakinan yang dinyatakan bertentangan dengan Kekristenan.Â
Bersamaan dengan itu gorga Hariara Sundung di Langit juga mulai hilang dari dinding Rumah Adat Batak, digantikan oleh gorga sosok Orang Bule yang digambarkan datang membawa Hamajuon (Kemajuan) bagi orang Batak.
Filosofi monisme, kesatuan alam dengan manusia dan penciptanya yang terkandung dalam hariara Sundung di Langit itu mungkin bisa menjadi rujukan bernilai untuk pembangunan yang selaras alam dan selaras sosial-ekonomi bagi masyarakat Batak (Toba).
Demikianlah tuturan dari saya, Felix Tani, petani mardijker, di waktu kecil sering berebut buah hariara matang dengan sesama teman dan para monyet.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI