Besok, Rabu 17 April 2019, sejatinya adalah "Hari Raya Demokrasi". Â Besok, semua warga negara Indonesia yang punya hak pilih merayakan demokrasi dengan cara menggunakan hak pilih dalam Pilpres yang terjadi sekali dalam lima tahun. Â Maka momen Pilpres 2019 itu adalah hari gembira.
Secara spesifik, besok adalah momen langka untuk setiap warga negara membuktikan kecerdasan politiknya. Â Bisa dikatakan Pilpres 2019, juga Pilpres sebelumnya, adalah "Ujian Kecerdasan Politik bagi Warga Negara".
Besok Rabu 19 April 2019, saya dan semua warga yang punya hak pilih, ditantang untuk membuktikan kecerdasan politiknya. Â Setidaknya, menurut saya, ada dua indikator kecerdasan politik yang bisa dikenakan pada diri masing-masing.
Pertama, saya cerdas secara politik apabila tidak takut datang menggunakan hak pilih ke TPS. Ketakutan adalah indikasi ketidak-cerdasan mengatasi faktor-faktor yang kendala penggunaan hak pilih sendiri. Â
Datang untuk menggunakan hak pilih ke TPS adalah perbuatan legal, pelaksanaan hak politik secara formal, dilindungi oleh undang-undang. Â Jika di TPS ada aparat Polri dan TNI maka itu adalah untuk menjamin pelaksanaan hak politik secara aman.
Menjadi "golput", dengan berbagai alasan yang irrasional secara politik, dengan sendirinya mencerminkan ketidak-cerdasan. Â Saya tidak akan menyitir ucapan Romo Franz Magnis-Soeseno bahwa golput itu "bodoh, benalu, psycho-freak". Â Itu terlalu keras, seperti diakui Romo Magnis sendiri.Â
Saya cukup mengatakan, "Menjadi golput berarti tidak cerdas karena menghindari hak dan tanggungjawab sebagai warga negara."
Kedua, saya cerdas secara politik apabila menggunakan hak pilih dengan tuntunan hati nurani. Â Hati nurani itu karunia Tuhan Yang Maha Esa, karena itu tak pernah salah. Â
Benar bahwa penentuan pilihan capres/cawapres pertama-tama memang harus didasarkan pada pikiran rasional, akal sehat. Â Kesampingkan emosi yang dapat menuntun pada sesat pilih.Â
Tapi keputusan berdasar "akal sehat" harus selalu diuji dengan suara "hati nurani". Â Jika bertentangan dengan hati nurani, berarti "akal sehat" belum "sehat benar". Â Pikir ulang lagi, mungkin ada detil yang terlewatkan. Â
Begitulah proses pengambilan keputusan yang mencerminkan kecerdasan politik tinggi.