Salam Bhinneka Tunggal Ika, Pak Jokowi.Â
Izinkanlah saya, seorang petani, menyampaikan sebuah gagasan kecil.
Sebuah gagasan yang dilandasi komitmen pada Bhinneka Tunggal Ika. Serta kesetiaan pada NKRI yang berdasar Pancasila dan UUD 1945. Gagasan ini dipicu sebuah rasa kecewa pada TKN terkait skenario Kampanye Pamungkas Pak Jokowi dan Pak Ma'ruf  tanggal 13 April 2019 nanti.
Saya sangat kecewa  karena, seperti diberitakan,  TKN  ternyata terjebak pada ambisi pelampauan jumlah massa Kampanye Akbar Prabowo-Sandi tanggal 7 April 2019 lalu di GBK Senayan.
Jika benar begitu, maka TKN dan juga Pak Jokowi  telah terpancing masuk  ke dalam perangkap kubu rival Pilpres 2019 untuk memainkan "politik dangkal".
Tentu Pak Jokowi lebih paham dibanding saya, bahwa "politik dangkal" sebagai strategi mencapai tujuan dicirikan oleh dua hal saja. Â
Ciri pertama, pengerahan kekuatan massa sebesar-besarnya di atas basis identitas primordialistik. Semisal di atas basis agama tertentu. Sehingga menjadi eksklusif dan karena itu anti-Bhinneka Tunggal Ika.
Kedua, adanya "bahan bakar" berupa ujaran-ujaran politis vulgar tanpa dasar empirik yang valid. Semisal ujaran-ujarang yang jika dirangkai menjadi begini: "Ibu Pertiwi diperkosa" oleh "bajingan" sampai "bocor" sehingga "rakyat miskin".
Saya tahu, sejarah politik dunia kontemporer memang sudah mencatatkan keberhasilan Donald Trump menjadi Presiden AD berkat strategi "politik dangkal". Â Sebuah kisah sukses yang mungkin sedang dicoba replikasi oleh rival Pak Jokowi di Indonesia kita.
Tapi saya sungguh tak bisa terima jika Pak Jokowi mereplikasi "politik dangkal" semacam itu. Hanya demi memenangi Pilpres 2019.
Praktik "politik dangkal" semacam itu menurut saya anti-Bhinneka Tunggal Ika. Dan karena itu anti-Pancasila dan UUD 1945. Dengan kata lain anti-NKRI. Saya tidak yakin Pak Jokowi mau menghianati NKRI demi sebuah jabatan Presiden RI.
Karena itu untuk Kampanye Pamungkas Pak Jokowi dan Pak Ma'ruf tanggal 13 April 2019 nanti, saya ingin sampaikan sebuah gagasan kampanye berjiwa Bhinneka Tunggal Ika kepada Bapak.
Ini sebuah gagasan yang tidak mandeg pada sekadar "Konser Purih Bersatu" yang sedang dipersiapkan Mas Abdee. Bukannya konser itu jelek. Bukan. Tapi saya membaca gelagat kemandegan inovasi kampanye di situ. Sebab apa bedanya itu dengan pentas dangdutan yang menutup jalan pada sebuah pesta nikah di Jakarta?
Saya mengusulkan sebuah gagasan Kampanye Pamungkas yang saya namai "1,200 Km Rantai Bhinneka Tunggal Ika".
Ide dasarnya adalah rantai manusia aneka suku, ras, agama, dan golongan sosial yang bergandeng-tangan sepanjang  1,200 km Rantai dari Merak di ujung barat Pulau Jawa sampai ke Banyuwangi di ujung timurnya.
Angka 1,200 km itu adalah jarak Merak-Banyuwangi. Sekaligus jarak tol Trans-Jawa yang sedang Pak Jokowi bangun untuk menghubungkan dua kota itu.
Pak Jokowi pasti tahu, jalur Merak-Banyuwangi kini adalah koridor aglomerasi yang menyatukan kota-kota di Jawa. Di sepanjang jalur itu terdapat warga pendukung Pak Jokowi dari ragam latar sosial. Mulai dari buruh sampai majikan, tani/nelayan sampai industriawan, penganggur sampai pegawai, pengasong sampai saudagar, dan pengemis sampai hartawan.
Saya yakin, mereka akan bersukaria bergandeng-tangan mulai dari Merak sampai Banyuwangi untuk menyatakan dukungan dan kecintaannya kepada Pak Jokowi. Karena pada diri Pak Jokowi, meteka melihat bayangan mereka dan masa depan bangsa Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika.
Saya membayangkan GBK Senayan tetap menjadi simpul utama 1,200 km rantai "Bhinneka Tunggal Ika" itu. Dari GBK rantai terentang ke Merak di barat dan  ke Banyuwangi di timur, sepanjang jalan raya penghubung dua kota itu.
Simboliknya, jika pada masa Hindia Belanda, Â di bawah Gubernur Jenderal H.W. Daendels jalur "Anyer-Panarukan" adalah "rantai penderitaan rakyat", maka pada masa Indonesia Merdeka, di bawah Presiden Jokowi jalur Merak-Banyuwangi adalah "rantai kemakmuran rakyat".
Saya membayangkan satu momen Pak Jokowi dari GBK Senayan memimpin aksi menyanyikan lagu nasional "Garuda Pancasila" dan "Satu Nusa Satu Bangsa" Â secara serentak oleh 1,200 km "rantai manusia" Bhinneka Tunggal Ika.
Dengan bantuan Teknologi Informasi 4.0 aksi  ini disiarkan ke seluruh pelosok Nusantara dan Dunia.  Merinding saya membayangkannya, Pak Jokowi. Momen itulah yang akan dibicarakan dan diingat rakyat Indonesia sampai saat pencoblosan Pilpres tanggal 17 April 2019 nanti. Pak Jokowi tentulah paham apa artinya itu.
Pak Jokowi, saya yakin mewujudkan 1,200 Km "Rantai Bhinneka Tunggal Ika" itu bukanlah soal yang teramat pelik untuk Bapak. Di sepanjang jalur Merak-Banyuwangi itu sudah ada barisan partai dan ormas pendukung Pak Jokowi. Dengan dukungan TI 4.0, TKN bersama jaringan partai dan ormas itu pastilah mampu dengan cepat merangkai "rantai manusia" sepanjang jalan.
Pak Jokowi dan TKN masih punya waktu sedikitnya 30 jam untuk mewujudkan "1,200 km Rantai Bhinneka Tunggal Ika" itu. Itu bukan waktu yang terlalu singkat.
Pak Jokowi, saya hanya seorang petani gurem pada tahun 2014 dan masih tetap gurem di tahun 2019 ini. Jadi, Pak Jokowi menjadi presiden, tak ada untungnya bagi saya pribadi.
Jika kini saya berharap Pak Jokowi memenangi lagi Pilpres 2019, itu semata karena saya melihat masa depan cerah Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika dalam karya dan karsa Bapak.
Demikian usulan saya, Felix Tani, petani mardijker, ingin tahu apakah Pak Jokowi sudi mendengar suara seorang petani gurem dari tengah sawah, atau hanya mau mendengar "Orang-orang di Lingkar Istana".
Salam Bhinneka Tunggal Ika, Pak Jokowi.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H