Jika untuk Kampanye Pamungkas Jokowi-Ma'ruf  tanggal 13 April 2019 nanti jajaran Tim Kampanye Nasional (TKN) berorientasi pada pelampauan jumlah massa Kampanye Akbar Prabowo-Sandi tanggal 7 April 2019 lalu di GBK Senayan, maka TKN dan juga Jokowi-Ma'ruf telah terjebak ke dalam perangkap "politik dangkal".Â
Dengan "politik dangkal" yang saya maksud adalah upaya pewujudan kepentingan politik dengan cara mengerahkan kekuatan massa sebanyak mungkin yang "dibakar" dengan narasi ujaran-ujaran politis vulgar, untuk tidak mengatakan "kasar".
Kecenderungan semacam itu, khususnya untuk variabel kuantitatif "jumlah massa", sebenarnya sudah terbaca jelas baik pada kubu Jokowi-Ma'ruf mapun kubu Prabowo-Sandi. Â Pada kubu Prabowo-Sandi, puncaknya adalah Kampanye Akbar tanggal 7 April 2019 lalu. Â Sedangkan pada kubu Jokowi-Ma'ruf puncaknya nanti tanggal 13 April 2019. Â Di tempat yang sama, GBK Senayan.
Khusus untuk variable kedua yaitu "ujaran politis" yang bersifat kualitatif, yang sudah jelas terdengar dan terbaca (dalam pemberitaan dan medsos) sejauh ini barulah dari Prabowo-Sandi. Â Khususnya ujaran-ujaran politis vulgar dari Prabowo.
Jika dirangkikan secara "logis" maka ujaran-ujaran Prabowo akan berbunyi: "Ibu Pertiwi diperkosa" oleh para "bajingan" sampai "bocor" sehingga "rakyat miskin". Â Dalam bentuk angka, narasi ini bisa dibaca "80% tanah Indonesia dikuasai" oleh "1% konglomerat" yang menyebabkan "kebocoran pendapatan nasional Rp 2,000 triliun" sehingga "90% rakyat hidup pas-pasan".
Meskipun dalam sejarah politik kontemporer dunia sudah menyaksikan kemenangan Donald Trump dalam Pilpres AS berkat strategi "politik dangkal", satu hal yang mungkin coba direplikasi Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi di sini, saya tidak pernah berharap Jokowi-Ma'ruf mengikuti jalan yang sama.  Memang  Jokowi pernah sempat mengujarkan "politisi sontoloyo" bermain "politik genderowo".  Tapi itu adalah kritik terhadap perilaku politisi yang dinilai "mendungukan rakyat".
Maka, untuk Kampanye Pamungkas Jokowi-Ma'ruf tanggal 13 April 2019 nanti, saya ingin mengajukan sebuah gagasan kampanye berwawasan NKRI yang berdasar Pancasila dan UUD 1945, yang saya sebut "1,200 Km Rantai 'Bhinneka Tunggal Ika' Merak-Banyuwangi".Â
***
Konsep "1,200 km Rantai 'Bhinneka Tunggal Ika' Merak-Banyuwangi" itu merujuk pada rantai manusia bergandeng tangan dari kota Merak di ujung barat Jawa sampai kota Banyuwangi  di ujung timur sana. Jarak antara dua kota itu dibulatkan sekitar 1,200 kilometer.
Disebut Rantai "Bhinneka Tunggal Ika" karena jalur Merak dan Banyuwangi sebenarnya sudah mengalami proses aglomerasi (penyatuan antar-kota), dan penduduk sepanjang jalur itu sudah mencerminkan "ke-Bhinneka tunggal Ika-an". Â Segala kelompok suku, ras, agama, dan golongan penciri kebhinekaan Indonesia ada di sepanjang jalur itu.
Saya membayangkan GBK Senayan tetap menjadi simpul utama rantai "Bhinneka Tunggal Ika" itu. Artinya, rantai akan terentang dari GBK ke Merak di utara, dan dari GBK ke Banyuwangi di timur, sepanjang jalan raya Merak-Banyuwangi.
Simboliknya, jika pada masa Hindia Belanda, Â di bawah Gubjen H.W. Daendels jalur "Anyer-Panarukan" adalah "rantai penderitaan rakyat", maka pada masa Indonesia Merdeka, di bawah Presiden Jokowi jalur Merak-Banyuwangi adalah "rantai kemakmuran rakyat". Â Bukan sebuah kebetulan Jokowi berencana mewujudkan 1,200 km tol Trans-Jawa, dari Merak ke Banyuwangi, untuk mendukung proses pemakmuran rakyat.
Secara teknis, merangkai rantai manusia sepanjang 1,200 km dari Merak ke Banyuwangi bukan pekerjaan sulit. Â Sepanjang jalur itu sudah ada populasi warga pendukung Jokowi-Ma'ruf lengkap dengan ranting dan cabang partai-partai dan ormas-ormas pendukungnya. Â Jadi, tinggal menggerakkan mesin partai dan ormas pendukung untuk membentuk rantai manusia "Bhinneka Tunggal Ika" sepanjang tepi jalan raya Merak-Banyuwangi. Â Rantai itu harus dipastikan tidak menyebabkan kemacetan arus lalu lintas.
Saya membayangkan satu momen "Konser Putih Bersatu" di GBK Senayan memimpin aksi menyanyikan lagu nasional "Garuda Pancasila" dan "Satu Nusa Satu Bangsa" diikuti secara serentak oleh "rantai manusia" dari Merak sampai Banyuwangi. Â Dengan bantuan Teknologi Informasi 4.0 aksi yang "bikin merinding" ini akan disiarkan ke seluruh pelosok Nusantara dan Dunia. Â
Pesan utama yang hendak disampaikan di situ adalah "NKRI Harga Mati". Â Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika tak bisa ditawar. Â Itulah kualitas yang harus dicapai oleh Kampanye Pamungkas Jokowi-Ma'ruf. Â Jangan hiraukan kuantitas massa. Â Karena pencapaian kualitas seperti itu dengan sendirinya sudah diikuti kuantitas massa.
***
Sulitkah mewujudkan "1,200 Km Rantai 'Bhinneka Tunggal Ika' Merak-Banyuwangi"? Â Seharusnya tidak sulit, jika TKN dan barisan partai serta ormas pendukung punya komitmen dan integritas kuat untuk memenangkan Jokowi-Ma'ruf tanggal 17 April 2019 nanti.
Secara pribadi saya menantang Ketua TKN Jokowi-Mar'ruf, Bung Eric Thohir untuk mewujudkan gagasan Kampanye Pamungkas "1,200 Km Rantai 'Bhinneka Tunggal Ika' Merak-Banyuwangi ini. Â Atau, jika Bung Eric tidak sanggup mewujudkannya, maka Felix Tani siap mengantikan posisi Bung sebagai Ketua TKN.
Demikian usulan saya, Felix Tani, petani mardijker, sudah pada taraf "muak moral" dengan iklim sosial-politik kampanye Pilpres 2019, sehingga memutuskan setelah ini puasa menulis artikel politik sampai 17 April 2019.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H