Konon syair Ronggowarsito ini adalah kritik sosial terhadap kondisi pemerintahan Pakubuwono IX yang dipenuhi para penjilat yang hanya peduli keuntungan pribadi.
Konsep "jaman edan" Ronggowarsito itu hendak saya pinjam untuk menjelaskan  satu konteks sosial-politik temporal, dalam hal ini masa "kampanye Pilpres 2019".  Saya sebut itu sebagai "kegilaan kampanye". Â
"Gila" yang saya maksud di sini bersifat sosiologis (masyarakat), bukan psikologis (individu), menunjuk pada perilaku di luar kewajaran sosial, dalam konteks sosial tertentu. Konteksnya di sini adalah kampanye Pulpres 2019.
Intinya, sesuai batasan di atas, kampanye Pilpres 2019 adalah sebuah "kegilaan sosial (politik)." Coba dipikir. Negara ini harus membelanjakan Rp 25 triliun untuk memilih (mungkin) presiden/wapres dari dua pasangan capres/cawapres yang "buruk" (menurut kubu pesaing). Ditambah ratusan miliar rupiah urunan masing-masing pasangan kandidat dan partai-partai pendukungnya.
Lalu, agama dan Tuhan diseret ke jurang ternista, dengan cara merapal ayat suci sebagai mantra politik, dan mengklaim Tuhan sebagai "Politisi Agung" yang berada di pihaknya. Bukankah sebuah kegilaan sosial untuk menyeret Tuhan ke dalam permainan polutik yang serba kotor?
Juga sebuah kegilaan sosial tatkala partai-partai yang sejatinya berseberangan "visi idiologis" tiba-tiba kompak mendukung satu pasangan capres/cawapres. Semata-mata karena memperjuangkan kepentingan politik praktisnya sendiri-sendiri. Bukan kepentingan bangsa dan negara.
Kegilaan sosial juga ditunjukkan dalam rupa-rupa ujaran dan tindakan politis selama kampanye. Dan kegilaan semacam itu memang secara sengaja diadopsi dan diterapkan sebagai strategi kampanye untuk memenangi Pilpres 2019.
Prinsipnya, semakin "gila" ujaran dan tindakan maka semakin dekat jarak "imajinasi" kepada "fakta" kemenangan dalam Pilpres nanti. Karena akan semakin viral, semakin terkenal, semakin menarik simpati, dan karena itu semakin besar kemungkinan mendapat mayoritas mayoritas pemilih saat pencoblosan.
Maka, dari kubu Prabowo/Sandi, meruyaklah ujaran-ujaran "gila" semacam "Rp 100,000 hanya bisa beli cabe dan bawang", "tempe setipis kartu ATM", "tampang Boyolali", "99% rakyat hidup pas-pasan", "80% tanah dikuasai segelintir orang", "2030 Indonesia bubar", "selang cuci darah di RSCM dipakai 40 orang", "menjemput Rizieq Shihab jika terpilih jadi presiden", dan "malaikat berdoa untuk kemenangan Prabowo-Sandi".
Terbaru, dari Debat ke-4 Capres, Prabowo melontarkan  ujaran-ujaran kategori "gila" juga:  "pertahanan Indonesia rapuh", "Panglima ABS", dan "Indonesia tidak dihormati dunia".
Selain ujaran-ujaran, dari kubu Prabowo/Sandi ditampilkan pula lakon-lakon terindikasi "setting-an. Mulai dari lakon gagal "Ratna Sarumpaet Korban Penganiayaan", "Lelaki Berlumpur di Makasar", "Petani Bawang Menangis", "Pelukan Nenek Rp 500,000", dan "Jadikan Aku Istri Kedua".