Saya mulai dengan definisi fiksi ala Rocky Gerung yaitu pengaktivasi imajinasi. Nah, survei elektabilitas itu mengaktivasi imajinasi capres/cawapres serta timnya untuk  memenangi Pilpres 2019. Itu telos, tujuannya. Maka survei elektabilitas capres/cawapres itu adalah fiksi atau fiksional.
Jadi, kalau ada yang membaca hasil survei elektabilitas capres/cawapres sebagai fakta akhir, berarti dia tak paham hakekat fiksional dari survei. Â
Apalagi kalau ada orang yang menyimpulkan berdasar sejumlah hasil survei yang dipilih secara purposif dan terbatas, bahwa survei elektabilitas petahana pasti meleset. Sembari menyembunyikan jumlah hasil survei yang jitu. Â Semata untuk memaksakan fakta penantang sebagai pemenang.
Survei adalah pendugaan fakta, bukan pengungkapan fakta. Yang terakhir ini adalah fungsi sensus. Semisal Sensus Penduduk, benar-benar mengungkap fakta jumlah penduduk suatu negara pada satu titik waktu.
Maka jangan sampai lupa. Survei elektabilitas capres/cawapres pada satu titik waktu selalu bermakna pendugaan untuk memenangi Pilpres pada waktunya. Bukan fakta kemenangan itu sendiri.
Dalam konteks Pilpres 2019, berdasar hasil-hasil survei dependen,  dugaan kemenangan itu lebih kuat pada Jokowi/Maruf ketimbang Prabowo/Sandi. Artinya, jarak antara  imajinasi dan fakta kemenangan lebih dekat pada Jokowi/Maruf.
Pada Prabowo/Sandi jarak itu lebih jauh. Tapi itu tidak berarti mereka kalah. Hanya saja, pewujudan imajinasi menang Pilpres 2019 lebih berat untuk mereka.
Perhatikan bahwa survei elektabilitas yang fiksional itu mengaktivasi imajinasi memenangi Pilpres 2019 baik pada Jokowi/Maruf maupun Prabowo/Sandi. Â
Yang membedakan adalah jarak antara imajinasi dan fakta. Inilah faktor penjelas  beda strategi kampanye antara kedua pasangan capres/cawapres itu. Yang hendak saya jelaskan sebagai "kegilaan  kampanye".
***
Pada pupuh ke-7 Serat Kalatida, pujangga Ronggowarsito mengguratkan: "Amenangi jaman edan, ewuhaya ing pambudi. Â Melu ngedan nora tahan, yen tan melu anglakoni, boya keduman melik, kaliren wekasanipun."
Kurang-lebih berarti: "Menyaksikan jaman gila, serba susah dalam bertindak. Â Ikut gila tidak akan tahan, tapi kalau tidak ikut (gila), tidak akan mendapat bagian, akhirnya akan kelaparan."