Langkah pertama, dan terpenting, membuka isolasi geografis dengan membangun jalan raya yang menghubungkan Balige dengan Parapat sampai Medan di utara dan Tarutung sampai Sibolga tahun 1917-1920.
Dengan begitu arus manusia dan barang dari dan ke Balige dan sekitarnya menjadi lebih lancar dan efisien. Termasuk arus iptek melalui jalur pendidikan dan penyuluhan yang membuka gerbang kemajuan bagi masyarakat Batak di Balige dan sekitarnya.
Langkah kedua, bertepatan dengan Depresi Besar awal 1930-an, pengembangan industri tenun di Balige. Ini strategi Pemerintah Kolonial mengantisipasi dampak Depresi Besar pada ekonomi rakyat setempat dan Sumatera Timur.
Produksi tekstil di Balige diproyeksikan mensubstitusi tekstil impor yang terkendala oleh Depresi Besar. Tekstil Balige dimaksudkan untuk memasok permintaan di Sumatera Timur, khususnya di wilayah perkebunan. Selain untuk memenuhi kebutuhan tekstil di Afdeling Bataklanden, tentu saja.
Maka secara geo-politik dan geo-ekonomi, pembangunan kota Balige memang penting untuk mengamankan kekuasan Pemerintah Kolinial Belanda.
Dalam konteks itulah pembangunan industri tenun Balige, dan kiprahnya, mendapatkan peran pentingnya. Tidak saja untuk Balige dan Tanah Batak. Tapi untuk Sumatera bagian utara umumnya.
Balige Kota Tenun
Selain pertimbangan geo-politik dan geo-ekonomi, ada satu faktor kondisional pada Balige sehingga layak dipilih sebagai sentra industri tenun. Kota ini sejak lama sudah menjadi sentra industri tenun tradisional (gedogan), penghasil tenunan ulos Batak terbaik di Toba Holbung (Lembah Toba).
Pada paruh pertama 1930-an, Pemerintah Kolonial Belanda lalu memfasilitasi sejumlah kecil pengusaha lokal untuk merintis industri tenun "modern". Mereka diberi bantuan ATBM dan benang berikut pelatihan. Di antara mereka tersebutlah nama-nama Baginda Pipin Siahaan, H.O. Timbang Siahaan, dan Karl Sianipar. Mereka ini tergolong generasi perintis.
Dihitung dari generasi pertama, "perintis", itu industri tenun sarung Balige sejatinya telah dibangun lewat tiga "generasi" pengusaha.
Generasi kedua, "pengikut", muncul tahun 1960-an. Bersamaan dengan implementasi Politik Benteng, upaya penumbuhan golongan pengusaha pribumi oleh rezim Soekarno.Â