Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Revolusi Plastik di Tanah Batak

13 Maret 2019   14:23 Diperbarui: 14 Maret 2019   18:17 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peralatan kerja atau produksi juga terbuat dari bahan alami. Tali dipilin dari bahan ijuk enau, atau pelepah pisang yang diambil dari kebun sendiri (pisang) atau kebun kampung (enau). Karung berbahan jute, goni. Ini beli jadi di pasar. Keranjang dari bahan rotan atau bambu. Termasuk keranjang (rotan) untuk belanja ke pasar.

Untuk membuat keranjang rotan, para lelaki akan pergi memanen rotan ke hutan di sebelah timur kampung. Itu hutan perawan. Kelompok lelaki berangkat pagi dan pulang sore dengan beban gelungan rotan sarat di bahu.

Selanjutnya rotan dibersihkan dan dibelah, serta dihaluskan. Setelah itu dianyam menjadi rupa-rupa keranjang. Sesuai kebutuhan dan permintaan pasar. Selain untuk keperluan sendiri, keranjang rotan dijual juga ke pasar lokal, Tigaraja, Parapat.

Begitulah. Sampai penghujung 1960-an, warga Kampung Pardolok boleh dibilang masih hidup selaras alam. Kontaminasi produk berbahan plastik belum signifikan. Ada satu dua, tapi belum menjadi kelaziman.

***

Tahun 1970 mungkin boleh dicatat sebagai tonggak revolusi plastik di Tanah Batak, jika merujuk pada kasus Kampung Pardolok. Inilah tahun awal ragam produk plastik menyesaki rumah warga Kampung Pardolok. Tahun awal revolusi plastik datang melanda.

Revolusi plastik datang mengejek kehidupan alami orang Batak. Ngapain repot bikin atau beli peralatan kayu, rotan, bambu, ijuk, mendong, batok, dan lain-lain itu segala. Udah bikinnya susah, atau belinya mahal, pakainya gak praktis, bisa busuk pula. Mending pakai peralatan plastik. Praktis, murah, warna-warni, dan gak bakal busuk.

Kira-kira begitu revolusi plastik memukul "knock out" kesadaran selaras alam orang Batak, khususnya di Kampung Pardolok.

Maka mulailah perempuan Kampung Pardolok mengganti ember kaleng dengan ember plastik. Karena perempuan kampung harus mengambil air ke pancuran di lembah sekitar 500 m ke timur, maka ember plastik dinilai lebih ringan disunggi ketimbang ember kaleng.

Dengan cepat perlengkapan dan peralatan berbahan plastik lainnya kemudian menyerbu rumah-rumah warga Kampung Pardolok. Mulai dari piring dan cangkir plastik, baskom plastik, termos plastik (untuk nasi), keranjang/tas plastik (untuk belanja), bakul plastik, tali plastik (nilon, untuk menambatkan kerbau dan babi), talu rafia, sapu plastik, sampai kursi plastik bahkan sandal plastik.

Yang terakhir ini sangat digemari anak-anak karena sandal plastik butut bisa ditukar dengan es ganefo (es lilin). Jika ada tukang es ganefo datang dari Siantar, maka orangtua suka resah karena itu berarti risiko sandal plastiknya "dimakan anak".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun