Artikel rekan Kompasianer Leya Cattleya (LC) menyadarkan saya tentang bahaya kepunahan tradisi pengabadian teks budaya dalam bentuk kain tenun tradisi atau adat nusantara ("Ketuntasan Tenun yang Bernama Seriri", kompasiana.com, 14 /01/19).
Ada kecemasan yang dikabarkan rekan Leya. Tentang rentang usia penenun tradisi yang masih aktif kini di Lombok: 50-70 tahun. Â Ada gejala krisis suksesi, karena regenerasi penenun tradisi yang cenderung mandeg.Â
Bukan karena para penenun uzur yang sudah ahli itu enggan menurunkan "ilmu tenun" ke generasi muda. Â Tapi lebih karena generasi milenial yang lebih terserap ke teknologi 3.0 dan sekarang 4.0, sehingga "ilmu tenun tradisi" di mata mereka terlalu kuno. Â Bahkan mungkin dianggap sebagai pra-teknologi 1.0.
Siapa yang mau memeluk masa lalu yang kuno kalau masa depan yang serba modern, atau mungkin post-modern, ada dalam genggaman? Â Sekurangnya dalam wujud gadged yang memfasilitasi generasi milenial untuk meraih kemungkinan-kemungkinan tanpa batas di depan?
Maka pemangku tenun tradisi, dan pelestari budaya, wajarlah cemas, karena tradisi menggurat teks budaya dalam kain tenunan kini terancam punah. Â Tentu jika tak ada solusi untuk keluar dari krisis susksesi pemangku tenun.
***
Tapi bahwa selembar kain tenun sebenarnya adalah artefak teks budaya, dan itu sungguh mengagumkan, mungkin tidak banyak orang yang menyadari. Â Karena lebih terserap pada keindahan (estetika) motif kain ketimbang terpikir pada makna yang terkandung pada motif-motif kain tenun itu.
Izinkan saya menyampaikan beberapa contoh tentang "teks budaya" dalam lembar kain tenun tradisi.
Di Ende Lio, NTT ada kain tenun ikat dengan motif Jara Nggaja (Kuda dan Gajah), kainnya disebut Lawo Jara Nggaja. Motif kuda dan gajah, tapi terutama motif gajah,  pada kain itu merujuk pada "kendaraan" (tunggangan) raja-raja (juga dewa-dewa) di India. Ini adalah teks budaya lokal yang mengisahkan legenda asal-usul etnik Ende-Lio yaitu keturunan migran India yang tiba di tanah Ende-Lio.
Sedangkan motif perahu, berisi kalung emas (wea) dan anting (riti), adalah teks budaya yang mengisahkan pelayaran leluhur Ende-Lio yaitu orang India dari Malaka.
Di Tanah Batak ada kain tenun Ulos Jugia yang sudah langka.  Struktur dan motif ulos ini sejatinya adalah teks kosmologi orang Batak.  Jugia terdiri dari lima bagian yang disatukan. Sisi kanan dan kiri disebut ambi, penanda bahwa semua yang ada di dunia ini ada batasnya.Â
Bagian tengah (badan) disebut tor dengan motif garis ganjil (disebut honda), menyatakan bahwa walaupun dunia ada batas, tapi yang "ganjil harus digenapi", artinya ikhtiar untuk maju dan bertumbuh.
Lalu di Tana Toraja ada misalnya kain tenun dengan motif Pa'tedong, kepala kerbau.  Ini merupakan teks budaya yang melambangkan kekuatan, kemakmuran, dan kebangsawanan dalam masyarakat hukum adat Toraja. Â
Kerbau merupakan bagian integral dari inti budaya agraris Toraja, pertanian sawah, sekaligus pengukur tingkat kemakmuran dan kebangsawanan. Â Tanpa kerbau maka tak ada panggung budaya Toraja.
Itu beberapa contoh untuk menunjukkan bahwa selembar kain tenun tradisi, dalam kelompok etnik manapun di nusantara ini, adalah lembar teks budaya yang bersifat spesifik.
***
Jika krisis suksesi pemangku tenun tradisi tak terpecahkan, dalam arti tidak ada regenerasi, maka niscaya tradisi menulis teks budaya pada selembar kain tenun akan punah. Â Kain tenun akan menjadi semacam "naskah kuno" yang tidak diproduksi lagi.
Gejala itu sudah mulai terasakan pada kasus Ulos Jugia Batak.  Ulos ini hanya bisa ditenun oleh parpitu lili, penenun dengan tingkatan tertinggi.  Jumlahnya di Tanah Batak tinggal hitungan jari, dan sudah tua semua, sehingga ulos itu kini sudah tergolong kain langka.
Sebenarnya sudah ada sejumlah lembaga non-pemerintah yang memprakarsai pelestarian tenun nusantara.  Sebut misalnya Yayasan Toba Tenun untuk pelestarian tenun ulos Batak.  Gema Alam NTB untuk pelestarian tenun Lombok.  Tapi sejauh mana lembaga-lembaga itu mampu mendorong regenerasi pemangku tenun tradisi, masih menjadi pertanyaan juga.
Saya juga tak punya solusi jitu untuk mengatasi krisis suksesi tersebut. Tapi jika sebuah solusi hendak dirumuskan, ada baiknya memperhatikan dua hal ini.
Pertama, tenun tradisi hendaknya tidak dimasukkan dalam kategori "industri kerajinan rakyat", tetapi "industri kreatif", sebab penenunan adalah proses menulis teks budaya pada selembar kain.Â
Kategori industri kreatif ini mungkin bisa menarik minat generasi milenial untuk belajar dan kemudian  menekuni tenun tradisi sebagai sebuah "bisnis yang menantang".  Sangat mungkin dengan kemampuan mereka dibidang teknologi digital, akan dihasilkan inovasi produksi tenun tradisi dengan perangkat tenun berbasis digital.
Tentu mereka juga perlu menguasai teknik bertenun manual.  Sebab nilai kain tenun sebenarnya terletak pada passion dan ritus yang dijalani selama proses penenunan berlangsung secara manual.
Kedua, karena pemangku tenun umumnya perempuan, dan ini memang domain perempuan, maka suksesi pemangku tenun seyogyanya diintegrasikan dengan gerak gender mainstreaming dalam pengembangan industri kreatif.
Tenun tradisi nusantara itu berpotensi besar sebagai distinctive advantage untuk perempuan Indonesia dalam persaingan industri kreatif global. Demikian pendapat saya, Felix Tani, petani mardijker, seorang pengumpul tenun tradisi yang parah.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H