Saya juga tak punya solusi jitu untuk mengatasi krisis suksesi tersebut. Tapi jika sebuah solusi hendak dirumuskan, ada baiknya memperhatikan dua hal ini.
Pertama, tenun tradisi hendaknya tidak dimasukkan dalam kategori "industri kerajinan rakyat", tetapi "industri kreatif", sebab penenunan adalah proses menulis teks budaya pada selembar kain.Â
Kategori industri kreatif ini mungkin bisa menarik minat generasi milenial untuk belajar dan kemudian  menekuni tenun tradisi sebagai sebuah "bisnis yang menantang".  Sangat mungkin dengan kemampuan mereka dibidang teknologi digital, akan dihasilkan inovasi produksi tenun tradisi dengan perangkat tenun berbasis digital.
Tentu mereka juga perlu menguasai teknik bertenun manual.  Sebab nilai kain tenun sebenarnya terletak pada passion dan ritus yang dijalani selama proses penenunan berlangsung secara manual.
Kedua, karena pemangku tenun umumnya perempuan, dan ini memang domain perempuan, maka suksesi pemangku tenun seyogyanya diintegrasikan dengan gerak gender mainstreaming dalam pengembangan industri kreatif.
Tenun tradisi nusantara itu berpotensi besar sebagai distinctive advantage untuk perempuan Indonesia dalam persaingan industri kreatif global. Demikian pendapat saya, Felix Tani, petani mardijker, seorang pengumpul tenun tradisi yang parah.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H