Pada warung kasus A, pewarung memperlakukan pelanggan sebagai anggota keluarga, tepatnya sebagai "anak-anak" yang harus dijamin ketersediaan makanannya. Karena itu warung makannya menjadi semacam ruang makan keluarga. Para pelanggan umumnya saling kenal, karena itu kegiatan makan di situ menjadi semacam waktu makan keluarga.
Pewarung sangat menghargai dan menjamin hak makan dari para pelanggannya. Oleh karena itu dia selalu menakar volum makan setiap pelanggan, agar semua pelanggan kebagian makanan. Jangan sampai ada pelanggan yang kecewa tidak mendapat makanan.
Pada warung kasus B, hubungan pewarung dan konsumen sudah mengarah pada hubungan penjual dan pembeli lazimnya. Tidak teramati lagi hubungan akrab yang hangat, melainkan hubungan bisnis yang cenderung dingin. Cukup dengan kata "Habis!", tanpa sesal, untuk menolak calon konsumen yang datang. Urusan selesai.
Warung kasus B tidak berorientasi kepuasan lagi seperti kasus A. Orientasinya adalah produktivitas, atau ringkasnya "omset" dan "laba". Menjual sebanyak mungkin demi laba sebesar mungkin.
Karena itu, jika fungsi warung kasus A adalah wahana komunikasi (antara pewarung dan pelanggan), maka fungsi warung pada kasus B adalah wahana penjualan semata. Mengutamakan siapa yang pesan lebih dulu dan mengutamakan pesanan partai besar. Tidak masalah jika konsumen yang datang langsung ke warung tidak kebagian. Yang penting dagangan habis terjual.
Kondisi kasus B ini dikatalisasi pula oleh teknologi komunikasi digital. Orang cenderung menjadi "malas" datang ke warung, karena lebih praktis pesan lewat aplikasi gadget. Warung kasus B sudah mengarah ke bisnis online yang lagi ngtren. Tidak salah sebenarnya, kecuali filosofi dasar "warung Jawa sebagai locus komunikasi" sudah terkikis di situ.
Sebenarnya pengikisan nilai filosofis itu bisa di atasi dengan memisahkan warung offline dengan warung online. Dengan begitu, pelanggan atau konsumen tradisional yang lebih nyaman datang dan makan langsung di warung, tak terampas haknya oleh konsumen online.
Saya tak keberatan dengan integrasi warung tradisional Jawa ke era bisnis online. Tapi saya merasa nelangsa, khawatir nilai-nilai "kekeluargaan" itu sudah mulai memudar dari budaya layan warung makan Jawa. Padahal, nilai itulah kekuatan sekaligus kekhasan warung makan Jawa.Â
Warung Jawa terutama bukan soal rasa makanan tapi soal  rasa hati. Setidaknya begitu menurut saya, Felix Tani, petani mardijker, sedang bernostalgia di Jawa Tengah.***
Solo, 31 Desember 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H