Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Makan Daging Anjing Bukan Tradisi Suku Batak

17 Desember 2018   17:13 Diperbarui: 17 Desember 2018   17:58 643
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Artikel rekan Ishak Pardosi, "Tradisi Orang Batak Makan Daging Anjing Bermula dari Habinsaran?" (kompasiana.com, 14/12/18), sungguhpun menarik, tak urung menyisakan satu pertanyaan yang menggelitik.  Benarkah orang Batak itu punya tradisi makan daging anjing, seperti dikesankan judul artikel rekan Pardosi?

Sebuah diskusi untuk menjawab pertanyaan itu sangat diperlukan.  Intensinya untuk mendapatkan kebenaran terkait kebiasaan makan daging anjing di kalangan orang Batak.

Hipotesis saya, bertolak-belakang dengan rekan Pardosi, makan daging anjing itu bukanlah tradisi bagi orang Batak. 

Saya akan jelaskan secara singkat.  Dimulai dari pengertian konsep "tradisi", lalu analisis kritis ringkas tentang gejala "makan daging anjing" di kalangan orang Batak.

Apa Itu Tradisi?

Tradisi secara sederhana diartikan sebagai pranata atau kelembagaan pelestarian nilai budaya tertentu melalui proses tindakan/aktivitas yang berulang dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Dalam konteks kebudayaan Batak, proses itu ditegaskan dengan baik dalam umpasa (petitih) tua berikut:  Tuat ma na dolok, martungkothon sialagundi.  Na pinungka ni parjolo, diihuthon na parpudi.  Artinya: Turun orang gunung, bertongkat kayu legundi.  (Nilai) adat (budaya) yang diciptakan oleh leluhur, dilanjutkan oleh keturunannya.

Contohnya tradisi mangan indahan haroan (makan bersama nasi menyambut kelahiran), atau mangharoan (singkatan), dalam masyarakat Batak Toba.  Ini tradisi menyambut kelahiran anak dengan acara makan bersama dongan sahuta (tetangga sekampung).  Nilai budaya yang dilestarikan melalui tradisi ini adalah kebersamaan dalam syukur, sukacita, dan pengharapan baik atas kelahiran seorang anak.

Contoh lain, tradisi manulangi (menyulangi, menyuapi) yaitu adat pemberian makanan (menyulang) oleh anak (dan cucu) kepada orangtuanya yang sudah uzur. Nilai budaya yang dilestarikan melalui kegiatan ini adalah kasih dan tanggungjawab anak kepada orangtuanya yang sudah uzur.  Sejak acara manulangi itu maka seluruh tanggungjawab sosial (adat) orangtua menjadi beban anak-anaknya.

Makan Daging Anjing Bukan Tradisi

Dengan pengertian tradisi seperti di atas, maka jelas tindakan sosial "makan daging anjing" di kalangan orang Batak bukanlah sebuah "tradisi". 

Alasannya sederhana.  Tindakan atau aktivitas "makan daging anjing" itu tak punya intensi untuk melestarikan suatu nilai budaya tertentu.  Itu adalah kegiatan somatik, atau tepatny gastronomik.  Semata untuk memuaskan indera pencecap, menikmati sensasi rasa yang sifatnya subyektif.  Tak ada muatan nilai budaya di situ.

Jika seorang Batak ditanya mengapa dia makan daging anjing, pasti jawabannya subyektif, "Karena enak",  atau "Untuk menghangatkan badan", atau "Untuk menyehatkan badan".   

Apakah benar daging anjing secara klinis dapat menghangatkan atau menyehatkan badan, atau sebenarnya itu cuma efek placebo, belum ada pembuktiannya.

Saya tidak pernah mendengar orang Batak mengklaim makan daging anjing itu sebagai tradisi yang diturunkan dari nenek-moyang mereka.

Memang kebiasaan makan daging anjing itu sudah dikenal dalam budaya makan orang Batak sejak dahulu kala. Hal ini misalnya bisa diketahui dari kisah marga Pardosi sendiri, untuk mengambil contoh guna pembuktian.

Alkisah, Raja Mardongan Siagian, leluhur marga Pardosi,  pernah bersumbah bahwa dia dan keturunannya tidak akan memakan daging anjing belang. Alasannya anjing belang miliknya telah menemukan sebuah tuhil (pahat kayu) yang hilang, yang memicu perselisihan dengan saudaranya.  

Perselisihan ini yang menjadi alasan Raja Mardongan menanggalkan marga Siagian, menggantinya dengan marga Pardosi, lalu bermigrasi ke daerah Habinsaran (dari tempat asalnya sekitar Porsea, atau daerah Uluan).

Implisit pada cerita itu, bahwa pada zaman dahulu, leluhur orang Batak memang sudah mengkonsumsi daging anjing. Baik anjing belang maupun anjing berbulu polos (kalau sudah menjadi saksang, tidak ketahuan lagi belang atau polos).  

Sungguhpun demikian, dalam budaya ekonomi orang Batak, anjing sejatinya bukan ternak pedaging.  Melainkan hewan untuk menjaga rumah/kampung, atau teman untuk berburu hewan liar ke hutan.

Mengapa orang Batak zaman dulu mengkonsumsi daging anjing, belum diketahui secara pasti. Perlu riset tersendiri untuk mengungkapkannya. 

Tapi sebagai hipotesis, mungkin ada dua alasan mengapa orang Batak dulu mengkonsumsi daging anjing peliharaannya.  Pertama, kemungkinan untuk mengontrol populasinya agar tidak terlalu banyak sehingga terhindar dari persaingan bahan makanan (karena anjing juga memakan manakanan manusia).

Kedua, kemungkinan sebagai strategi bertahan (coping strategy) pada periode-periode kelangkaan bahan makanan, mungkin pada masa-masa paceklik panjang.  Kelangkaan bahan makanan pokok dan hewan buruan pada suatu masa sangat mungkin mengarakan orang Batak tempo dulu untuk mengkonsumsi daging anjing yang dipeliharanya.

Bukan Makanan Rumahan

Untuk masa sekarang, daging anjing lazimnya disajikan di kedai-kedai makan Batak dan terutama di kedai-kedai tuak sebagai tambul (makanan pelengkap minuman tuak).  Karena yang datang ke kedai tuak umumnya adalah laki-laki, maka daging anjing cenderung dikonotasikan sebagai "makanan laki-laki".

Daging anjing tidak lazim disajikan sebagai makanan rumahan.   Kalau sekarang ada lagu "Sayur Kol" (sedang viral) yang menyebut "makan daging anjing dengan sayur kol" di rumah namboru (saudara perempuan ayah) di Siborongborong, itu adalah plesetan yang menyesatkan.  Seolah-olah daging anjing merupakan makanan rumahan sehari-hari di di sana.

Versi asli lagu itu, sudah ada sejak tahun 1970-an, mengatakan begini (penggalannya): "Ditogihon ahu mangan hu jabuna. Ingkauna jagal hoda dohot kol" (Aku diajak makan di rumahnya.  Lauk-pauknya daging kuda dan sayur kol).  Ini kontekstual, karena daerah Siborongborong (Humbang) sejak zaman dulu sudah dikenal sebagai daerah peternakan kuda Batak dan penghasil sayuran kol/kubis. 

Paparan ringkas di atas pastilah belum lengkap, dan terbuka untuk diperdebatkan.  Tapi dari paparan itu sudah jelas bahwa "makan daging anjing" bukanlah sebuah tradisi bagi orang Batak. 

Demikian sedikit diskusi dari saya, Felix Tani, pertain mardijker, yang tak pernah merekomendasikan kepada siapapun untuk makan daging anjing.***

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun