Pada hari ulang tahunnya yang  keempat-belas, putri semata wayangku lenyap terserap oleh hadiah ulang-tahunnya yang ketiga-belas.  Oleh segenggam telepon pintar yang telah merampas kata-kata dari bibir ceriwisnya.
Putriku telah bersalin serupa burung prenjak yang pandai mencuit setiap saat di dalam telepon pintarnya. Â Tak mampu ku mengerti senada cuitpun.
Pada hari hari ulang-tahunnya yang keempat-puluh, istri semata wayangku turut lenyap terserap oleh hadiah ulang-tahunnya yang ketigapuluh-sembilan. Â Oleh segenggam telepon pintar yang telah merampas kata-kata dari bibir cerewetnya. Â
Istriku telah bersalin serupa burung cucakrowo yang pandai mencuit setiap saat di dalam telepon pintarnya. Tak mampu ku mengerti senada cuitpun.
Pada hari ulang tahun pernikahan kami yang keempatpuluh-satu, di suatu pagi yang riuh cuitan, ku dapati istriku dan putriku berloncatan saling cuit dengan burung-burung asing di reranting pohon mangga depan rumah kami.
"Ayah kenapa, Bunda?" ku dengar putriku mencuitkan tanya. Â "Kelihatannya ayahmu perlu ke rumah sakit jiwa, Nak," ku dengar istriku mencuitkan jawab.
"Terimakasih Tuhan, akhirnya ku mengerti juga bahasa cuit istri dan putriku," syukurku sebelum tersungkur jatuh ke dasar jurang gulita.***
Jakarta, 24 September 2018
Dengan catatan: Maaf, sedang belajar nulis puisi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H