Beberapa hari lalu saya melintas di Melawai, Jakarta Selatan. Benar-benar hanya melintas. Bukan jalan-jalan sore lintas Melawai, seperti artis-artis remaja di awal 1980-an.
Awalnya saya mengagumi keindahan dan kerapihan trotoar sepanjang kedua sisi jalan Melawai. Tapi mendadak pandangan saya terganggu, saat menoleh ke atas, pada keruwetan aneka kabel yang bersiliweran di atas trotoar. Keindahan trotoar Melawai langsung terkorupsi karenanya.
Sambil gusar di hati, saya tiba-tiba teringat satu kota kecil di Mimika, Papua, namanya Kuala Kecana. Ada yang sudah pernah ke kota ini? Â
Kuala Kencana itu  sebuah kota tanpa bentang kabel-kabel di udara. Hanya tajuk hijau pepohonan yang boleh mengisi udara kota. Maka jadilah dia sebuah kota yang asri, resik, sedap dipandang mata. Semua kabel listrik dan komunikasi ditanam dalam tanah.
Sebenarnya sudah lama saya membayangkan Jakarta seperti Kuala Kencana. Punya udara yang bebas dari centang-perenang kabel-kabel listrik dan komunikasi. Â Tidak seperti sekarang, udara kota metropolitan ini sarat juntaian rentang aneka kabel. Teramat ruwet, jelek, bikin mata sepet.
Terhitung sejak Gubernur Soewirjo (1945) sampai Gubernur Anies Baswedan (2017), sudah 20 kali terjadi pergantian periodik Gubernur Jakarta. Tapi tak satu gubernur pun yang berhasil mengatasi keruwetan kabel-kabel di udara Jakarta.
Bahkan dua orang gubernur yang terkenal sebagai "perombak" Jakarta, Ali Sadikin dan Basuki T. Purnama, juga tak mampu mengatasi keruwetan kabel-kabel itu. Yang ada justru tambah ruwet dari satu gubernur ke gubernur berikutnya.
Tapi sekarang mungkin saat yang tepat untuk berharap pada Gubernur Anies Baswedan. Sebab jika dia mau dan bisa mengatasi keruwetan kabel-kabel itu, maka itu akan menjadi prestasi pembeda sekaligus penanda hebat baginya, dibanding para gubernur sebelumnya.
Jika Anies Baswedan hanya membangun uderpass/flyover baru, mengganti JPO dengan Pelican Cross, memperlebar trotoar, lokalisasi PKL, membangun rusunawa (DP 0%?), mengeruk sungai/kanal, dan menerapkan sistem lalin gage dan ERP, maka dia tak lebih dari  sekadar "pelanjut", bukan pencipta "kebaruan".
Tapi prestasi bermula dari mimpi siang bolong. Jadi bolehlah diusulkan agar Gubernur Anies pergi studi banding ke Kuala Kencana, Papua. Belajar cara menanam kabel dalam tanah di sana.
Atau kalau studi banding ke Kuala Kencana dirasa kurang gengsi, atau kurang afdol, bolehlah pergi ke Al-Manamah, Ibu Kota Bahrain. Al-Manamah juga dikenal sebagai kota tanpa kabel di udaranya. Juga tanpa PKL di trotoarnya. Hanya barisan pohon kurma yang boleh tegak sepanjang sisi trotoar, menyajikan pemandangan hijau sepanjang jalan.
Misalkan tak ada waktu untuk pergi ke Al-Manamah, maka sudilah studi banding ke Bandung dan Semarang. Dua kota ini sedang membenahi perkabelannya, untuk menjadi kota tanpa kabel di udara. Tak ada salahnya belajar dari tetangga, bukan? Lagi pula, masa sih Jakarta kalah dari Bandung dan Semarang?
Kalau bicara tentang biutifikasi kota, untuk Jakarta, saya pikir, pemandangan keruwetan kabel-kabel itulah yang terutama harus dihilangkan. Bukannya sibuk menggambar dan mewarnai tembok dan pilar kota. Sebab Jakarta bukanlah ruang kreativitas TK.
Dengan begitu, saya berharap mimpiku tentang  Jakarta kota tanpa kabel ruwet di udaranya boleh jadi kenyataan. Ya, Jakarta, kota tanpa tiang listrik untuk ditabrak  mobil politisi tersangka korupsi.
Pertanyaannya, mampukah Gubernur Anies Baswedan mewujudkan mimpi saya? Mimpi warganya juga?
Itu pertanyaan dari saya, Felix Tani, petani mardijker, yang berharap Anies Baswedan bisa menjadi  "a distinguished Governor of Jakarta".***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H