Kemarin saya telah membagikan berita duka berpulangnya Prof. Tapiomas Ihromi, pensiunan Guru Besar Antropologi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia "Perginya Bu Ihromi, Pejuang Hukum Adat dan Kesetaraan Gender", kompasiana.com, 6/8/2018).
Hari ini saya hendak membagikan pengalaman saya berinteraksi dengan beliau, sebagai murid dan rekan muda peneliti. Bukan untuk  mengagungkan beliau. Tapi untuk memberitakan pada khalayak, khususnya  para dosen dan mahasiswa, tentang pola relasi sosial yang selayaknya antara dosen dan mahasiswa.
Kuliah Itu Harus Ada Teori Inti
Saya menjadi mahasiswa Bu Ihromi hanya satu semester saja pada tahun 1997. Mata kuliahnya unik, Sistem Hukum Pedesaan. Tempat kuliahnya kadang di ruang jerjanya di UI Depok, kadang di rumah tinggalnya di Menteng pinggir waktu itu.
Topik Sistem Hukum Pedesaan itu bisa melebar kemana-mana, kalau tak cerdas menetapkan fokus. Di sinilah keistimewaan Bu Ihromi terlihat. Beliau membatasi materi perkuliahan pada topik "hukum adat" atau "hukum yang hidup dalam masyarakat desa".
Untuk itu beliau menetapkan "ruang sosial semi-otonom" (S.F. Moore) sebagai teori inti yang menjadi simpul semua topik kuliah. Teori ini menjelaskan keberlakuan "hukum yang hidup", khususnya hukum adat, dalam masyarakat, kendati hukum positif sudah berlaku.
Dengan teiri itu, Bu Ihromi menunjukkan bahwa tidak semua masalah hukum dalam masyarakat harus dibawa ke  pengadilan formal. Ada masakah-masalah yang dapat diputus sendiri oleh masyarakat berdasar "hukum adat"-nya. Dengan itu hendak ditunjukkan adanya keadilan di luar sistem peradilan negara.
Ujian terberat mata kuliah itu, khusus untuk saya, bukan tes tertulis, tapi tes praktek mengajar sebagai asisten beliau. Saya diminta untuk mengajarkan "ruang sosial semi-otonom" Â itu di depan mahasiswa Fisipol UKI.
Saya ingat, waktu itu, saya mengajarkan teori itu dengan menyampaikan kasus konflik "pemerintahan masyarakat hukum adat" dan "pemerintahan desa versi negara RI" di Ende Flores NTT. Ini konflik antara pemerintah "desa genealogis" (desa adat) dan "desa teritorial" (desa versi negara). Â
Saya tidak yakin telah mengajar dengan baik waktu itu. Yang saya tahu, saya lulus kuliah itu dengan nilai tertinggi yang mungkin diraih.
Teori Kuliah Itu Harus Bisa Diterapkan
Saya pikir, setelah lulus kuliah Sistem Hukum Pedesaan, relasi saya dengan Bu Ihromi sudah selesai pada status mantan dosen-mahasiswa.
Ternyata saya salah. Selang beberapa waktu kemudian, tahun 1998, Ibu Ihromi mengundang saya ke sebuah rapat di BPHN Jakarta. Rupanya itu rapat tim penelitian tentang kedudukan wanita dalam hukum waris masyarakat hukum adat Batak Toba. Saya dimintai tolong untuk ikut dalam tim, dan itu terlalu berharga untuk ditolak.
Menurut Bu Ihromi, karena sudah lulus kuliah Sistem Hukum Pedesaan, dan punya latar-belakang ilmu sosiologi pedesaan, maka saya pasti bisa memberi sumbangan signifikan untuk penelitian itu. Â Saya tidak menilainya sebagai pujian, tapi ujian.
 Maka saya ditugaskan untuk melakukan penelitian langsung ke masyarakat Batak Toba di Tapanuli Utara. Saya mewawancarai sejumlah informan kunci, tokoh adat dan janda tua, untuk mendapatkan data di sejumlah desa di daerah Uluan (Lumbanjulu) dan Toba Holbung (Porsea dan Balige).
Pulang dari Toba, saya menuliskan laporan penelitian tentang hak waris janda dalam masyarakat hukum adat Batak Toba. Saya tidak tahu apakah laporan itu sudah sesuai harapan Ibu Ihromi. Yang saya tahu, saya telah berusaha meneliti dan menulis laporan sebaik mungkin.
Hasil Penelitian Harus Dipublikasi
Sekali lagi saya keliru mengira hubungan dengan Ibu Ihromi telah selesai. Â Setelah urusan penelitian agak terlupakan, tiba-tiba suatu hari tahun 1999 saya dimintai tolong Ibu Ihromi untuk menulis ulang laporan penelitan yang saya susun menjadi artikel untuk dipublikasikan dalam sebuah buku bunga rampai yang yang disunting oleh E.K. Masinambow (LIPI).
Tentu saja saya merasa sangat terhormat diminta Ibu Ihromi menyumbang satu artikel di buku itu. Maka saya tulis artikel yang diminta dengan sepenuh hati, dan saya serahkan kepada beliau setelah selesai. Â
Ketika buku itu terbit tahun 2000, saya baru tahu bahwa itu adalah buku yang disusun dalam rangka ulang tahun ke-70 Ibu Ihromi. Judulnya, "Hukum dan Kemajemukan Budaya,  Sumbangan Karangan untuk Menyambut HUT ke-70 Prof.Dr. TO Ihromi"(Yayasan Obor Indonesia, 2000). Penyumbang  adalah kolega dan muridnya, termasuk saya yang paling "kroco".
Saya sendiri tak yakin mutu artikel itu. Tapi seorang rekan senior, Guru Besar Antropologi di Universitas Negeri Medan cum aktivus LSM sempat menelepon saya bertanya kok seorang sosiolog bisa menulis artikel antropologi. Saya tegas jawab, karena jasa Ibu Ihromi.
***
Cerita di atas mengungkap bahwa seorang dosen yang baik adalah, pertama, Â yang mampu menetapkan teori inti yang menjadi simpul dari keseluruhan matwri kuliahnya.
Kedua, memastikan mahasiswanya telah menguasai teori inti itu melalui pelibatan dalam praktek mengajar dan mampu menerapkannya dalam kerja riset. Â
Ketiga, memastikan mahasiswanya mampu menuliskan hasil penelitiannya dengan baik dan mempublikasikannya untuk memberi manfaat atau dampak yang lebih luas bagi publik.
Keempat, memposisikan mahasiswanya sebagai kolega junior yang wajib dibimbing dan diberdayakan agar mampu menjadi sarjana yang mampu menjadikan ilmunya bermanfaat bagi kebaikan masyarakat.
Semua itu tekah menjadi pengalaman saya pribadi dalam relasi sosial dengan Ibu Ihromi dulu.
Untuk pengalaman berharga itu, saya, Felix Tani, petani mardijker, menyampaikan terimakasih setulusnya kepada Ibu Ihromi yang telah pergi ke rumah Bapa.
***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI