Suatu hari di tahun 1971, kami murid-murid sebuah SD Negeri di punggung Bukit Barisan Tanah Batak, diwajibkan berangkat ke Parapat. Â
Kata Kepala Sekolah, Pangeran Bernhard dari Negeri Belanda, negara penjajah Hindia Belanda dulu, hendak berkunjung ke Danau Toba. Kami diwajibkan hadir di Parapat untuk menyambut kedatangannya.
"Pangeran Bernhard datang naik helikopter," kata Pak Manurung, Kepala Sekolah, membuat kami bersemangat. Soalnya, tidak  seorangpun  dari kami yang pernah melihat helikopter. Inilah saatnya.
Berangkat ke Parapat naik truk, kami diturunkan  di sebuah areal lapangan golf.  Ternyata kami tidak sendiri. Semua murid sekolah yang ada di Parapat dan sekitarnya dikerahkan  untuk menyambut Pangeran Bernhard.
Bermodal bendera merah-putih dan merah-putih-biru kecil di tangan, kami semua bersiap dari pagi di lapangan golf itu. Tak seorangpun  yang tahu pukul berapa helikopter Pangeran Bernhard tiba.
Ketika perut kami sudah "kriuk-kriuk", dan itu berarti sudah lewat pukul 12 siang, barulah kami melihat dua titik hitam bergerak di udara di arah utara.
"Itu helikopternya! Helikopter!" anak-anak berteriak riuh-rendah. Tidak ada yang meneriakkan nama Pangeran Bernhard. Â
Dan ketika dua helikopter itu mendarat di lapangan golf, kami lebih tertarik mengamati  capung besi itu, ketimbang Pangeran Bernhard. Lagi pula, dari kejauhan, kami tidak tahu mana Pangeran mana pengawalnya.
Begitulah. Hari itu kami kehilangan satu hari belajar demi menyambut Pangeran Bernhard. Dan kami pulang ke rumah memvawa cerita tentang helikopter.
Suatu hari di tahun 1985, Â saya terbawa dalam rombongan Pak Atar Sibero, Dirjen PUOD Depdagri dan Pak Bambang Ismawan, Direktur Binaswadaya Jakarta, ke Desa Sidajaya, Subang Jawa Barat.