Pertama, TGB mengritik rejim pembangunan infrastruktur yang bias kepentingan ekonomi kuat. Untuk maksud pemerataan, TGB Â mengusulkan agar pembangunan jaringan infrastruktur juga menjangkau aset ekonomi rakyat di pedesaan.
Kedua, TGB  mengritik langkah pemerintah impor beras dan jagung. Menurut TGB, Provinsi NTB sudah surplus beras dan jagung. Jadi mengapa dana impor tidak digunakan untuk membeli surplus beras dan jagung petani NTB saja, untuk  merangsang produksi dan meningkatkan ekonomi petani.
Intensi kritik-kritik keras  TGB itu adalah koreksi positif  pada Pemerintahan Jokowi agar tidak menjalankan kebijakan pembangunan yang bias pada kepentingan ekonomi lapisan atas, tapi juga memenuhi kepentingan ekonomi lapisan bawah.
Kritik TGB itu faktual, dilengkapi dukungan data empiris, dan bersifat non-isu dalam arti bukan sesuatu yang masih diperdebatkan. Dalam kritiknya tidak terkandung niat  menjelekkan atau menjatuhkan Pemerintahan Jokowi. Sebaliknya, kritik TGB mengoreksi  kelemahan kebijakan pembangunan yang bias kelas atas. Â
Bentuk kritik TGB semacam itu sangat cocok dengan sikap terbuka Jokowi pada "kritik berdasar data".  Dengan begitu,  kritik TGB  dipahami bersama oleh TGB dan Jokowi  sebagai bentuk dukungan terhadap rejim yang berkuasa, khususnya terkait pemerataan pembangunan nasional.
Maka lihatlah fakta, Â NTB adalah salah satu provinsi yang paling kerap dikunjungi Jokowi. Itu indikasi adanya komunikasi pembangunan yang intensif dan nyambung antara Presiden Jokowi dan Gubernur TGB. Â
Fakta di atas cukup untuk menggugurkan simpulan "TGB beroposisi Pada Jokowi", hanya karena ada fakta "TGB pengritik keras Jokowi". Kritik adalah satu hal, dan sikap oposisi adalah soal lain. Tidak semua pengritik itu otomatis oposan. Sebab kritik bisa berfungsi mendukung, bisa pula berfungsi menjatuhkan.
Kritik TGB jelas berfungsi mendukung kebijakan pembangunan yang ditempuh Pemerintahan Jokowi. Â Ini tak terbantahkan, ditambah adanya pengakuan TGB sendiri, bahwa dia sudah pernah menyatakan langsung dukungannya pada Jokowi tahun 2016 lalu.
Bisa disimpulkan, klaim "TGB beroposisi pada Jokowi" adalah fiksi, lengkap dengan sifat fiktifnya. Â Artinya, tidak ada fakta pendukungnya.
Dari uraian di atas, maka jelas bahwa alasan-alasan "TGB ditekan dengan kasus divestasi PT NTT" dan "TGB ditawari peluang  cawapres bagi Jokowi" tidak ada hubungan kausalnya dengan fakta "TGB mendukung Jokowi dua periode".
Ada dua alasannya. Pertama, fakta TGB telah mendukung Jokowi sejak sebelum kasus divestasi PT NTT dan wacana pencawapresan TGB mencuat ke permukaan.