Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menuju Kedaulatan Pangan Lokal di NTT?

20 Juni 2018   06:05 Diperbarui: 20 Juni 2018   13:05 2332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Ika Nggili/www.kompasiana.com/tilariapadika

Membaca rangkaian artikel rekan Tilaria Padika (TP) terkait dan tentang festival pangan lokal di Desa Oh'aem I, Amfoang Selatan, Kupang di Pulau Timor baru-baru ini, saya jadi teringat pengakuan Pak Daniel Woda Palle, mantan Bupati Sikka (1977-1988), suatu hari di tahun 1991.

Waktu itu, di kampus Universitas Cendana, saya sedang memaparkan persoalan lambatnya perkembangan pertanian padi di Kabupaten Ende di satu sisi dan kecenderungan menurunnya pertanian jagung di lain sisi.

Pada saat bersamaan peternakan sapi juga menurun, akibat larangan melepas ternak untuk mengamankan lahan pertanian padi sawah yang bersifat terbuka. Pertanian Ende waktu itu sedang bertransformasi dari "kebun jagung berpagar" ke "sawah terbuka", sementara peternakan bertransformasi dari "sistem lepas" ke "sistem kandang".

Proses transformasi agro-ekologi itu berlangsung dalam konteks implementasi Operasi Nusa Makmur, kebijakan dan program pembangunan pertanian pangan yang digagas dan dijalankan Gubernur NTT, Ben Mboi tahun 1980-an.

Saya sebenarnya menguraikan perubahan-perubahan agro-ekologis itu dalam upaya menjelaskan persoalan kemiskinan yang masih mendera Kabupaten Ende waktu itu. Maka ketika Pak Dan, begitu panggilan akrab Pak Daniel WP, angkat tangan minta bicara, dalam posisinya sebagai Wakil Ketua Bappeda NTT waktu itu, saya sempat menduga beliau akan membantah paparan saya.

"Saya merasa bersalah pada petani Sikka," kata Pak Dan memulai tanggapannya dengan pernyataan mengagetkan.

Lanjutnya, "Saya merasa bersalah sebagai Bupati Sikka dulu menyuruh petani beralih ke pertanian padi sawah. Jika sampai hari ini mereka belum juga menjadi petani sawah yang maju, maka itu bukan salah mereka. Sejak dahulu, petani Sikka adalah petani jagung yang hebat. Seharusnya, saya dulu mendorong mereka untuk menjadi petani jagung modern, bukan memaksanya menjadi petani padi sawah."

Tanggapan Pak Dan mengagetkan saya sebab waktu itu Presiden Soeharto sangat fanatik dengan kebijakan "swasembada pangan adalah swasembada beras".

Makna politik swasembada beras adalah penegakan hegemoni beras atas ragam bahan pangan lain. Bahan pangan lain hanya boleh untuk diversifikasi dalam arti variasi. Upaya menjadikan bahan pangan non-padi, seperti jagung, sagu, dan ubi, sebagai pangan pokok pengganti beras adalah pemberontakan. Harus ditumpas.

Kalau boleh sedikit hiperbolik, rezim Orde Baru secara terselubung sebenarnya telah menambahkan satu frasa lagi pada Sumpah Pemuda, yaitu "berpangan satu, beras Indonesia". Sebab dengan program swasembada beras, beras yang sejatinya adalah pangan asli Jawa-Bali, Sumatera, dan Sulawesi telah diangkat kelasnya menjadi "pangan nasional". Sejak itu pangan lain non-beras menjadi terpinggirkan dengan sebutan "pangan lokal".

Bahkan beras telah digunakan sebagai indikator kemiskinan, dengan cara mengukur tingkat pendapatan dalam nilai setara beras. Implisit di situ hendak dikatakan yang makan beras adalah orang kaya. Sebaliknya yang makan non-beras adalah orang miskin. Begitulah penduduk NTT disebut miskin karena konsumsi berasnya rendah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun