Kasus pelarangan seorang warga remaja dengan autisme untuk terbang bersama ibunya menggunakan pesawat Citilink rute Yogya-Balikpapan hari Sabtu (9/5/18) dan Senin (11/5/18) lalu, yang sempat viral, sudah diselesaikan secara kekeluargaan.Â
Remaja tersebut bersama ibunya sudah diterbangkan Citilink hari Selasa (12/6/18) lalu ke Balikpapan ("Viral Anak Penyandang Autisme Dilarang Naik Pesawat, Ini Penjelasan Citilink", kompas.com, 11/6/18).
Kendati sudah diselesaikan dengan baik,bagi saya,  kasus tersebut tetap menyisakan sejumlah  persoalan yang belum teratasi sejauh ini. Â
Pertama, Â pemahaman petugas medis di lembaga/organisasi jasa layanan umum, khususnya di Bandara Adisicipto, tentang spektrum autisme minus besar. Menyatakan seseorang tidak boleh terbang karena alasan "autis" adalah rekomendasi medis yang keliru.Â
Sebab bukan autisme yang menjadi masalah di sini. Tapi perilaku "temper trantum" yang bersifat sesaat yang ditunjukkan oleh remaja dengan autisme tadi.
Semestinya, ibunya sudah tahu persis bagaimana cara menenangkan anaknya. Pasalnya, bukan pertama kali mereka naik pesawat Citilink.
Kendati begitu, petugas bandara sudah keburu mengambil langkah kaku, sesuai prosedur kerja baku yang berlaku. Otoritas bandara telah menegasikan kemampuan si ibu untuk menata perilaku anaknya.
Kedua, lembaga/organisasi jasa layanan umum, bahkan sekelas Bandara Adisucipto, ternyata belum akomodatif atau bahkan belum antisipatif terhadap warga pengguna jasa dengan autisme.Â
Perhatikan bahwa formulir yang dikeluarkan otoritas medis bandara Adisicipto adalah formulir untuk perempuan hamil (yang mungkin tidak laik terbang).
Ini mengindikasikan warga dengan autisme belum diperhitungkan. Padahal jumlah warga dengan autisme cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
Jika sistem jasa  layanan umum tidak mengantisipasi kebutuhan kelompok warga dengan autisme, maka suatu saat kehadiran kelompok ini akan meledak sebagai masalah  diskriminasi sosial.