Ketiga, masih rendahnya empati terhadap orangtua yang dikaruniai anak dengan autisme. Saya yakin bahwa hanya orangtua yang kuat yang dikaruniai anak dengan autisme.
Tapi sekuat-kuatnya mental orangtua, tetap sangat menyakitkan mengalami kenyataan pintu akses ke pesawat dikunci petugas bandara Adisucipto untuk ibu dan anak dengan autisme tadi (tanggal 11/6/18).Â
Sebelumnya (9/6/18) ibu dan anak itu digiring ke dan dikerubuti di ruang medis seolah-olah pesakitan. Tindakan itu bukan saja bertentangan dengan prinsip-prinsip penanganan watga dengan autisme, tetapi lebih dari itu, tidak menunjukkan adanya empati terhadap orangtua yang dikaruniai anak dengan autisme.
Bukan maksud saya untuk berpanjang-panjang membahas kasus ini. Pada dasarnya, dengan mengangkat kasus ini, saya hanya ingin menyampaikan permohonan kepada pemerintah, Â sudilah mengakomodasi dan mengantisipasi kebutuhan warga dengan autisme dalam sistem pelayanan jasa umum kita, dengan mengeluarkan suatu kebijakan atau aturan terkait hal tersebut.
Jangan pernah ada lagi larangan untuk warga dengan autisme naik pesawat terbang. Mereka memang "berbeda" tapi itu bukan alasan untuk membatasi hak-hak mereka.
Begitu saja dari saya, Felix Tani, petani mardijker, yang berjuang untuk kemerdekaan warga autisme.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H