Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Ketika Sergio Ramos Menjadi "Kambing Hitam" Kekalahan Liverpool

30 Mei 2018   17:35 Diperbarui: 30 Mei 2018   23:26 905
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat  Bassem Wahba,  pengacara asal Mesir, bilang akan menuntut kapten Real Madrid, Sergio Ramos, sebesar Rp 16 triliun karena telah   menciderai  Mohamed Salah pada partai final Liga Champions  2018 pada 26 Mei lalu, mungkin dia merasa sedang menggugat sebuah tragedi.

Sebabnya, Mo Salah, kebanggaan internasional untuk rakyat Mesir itu, karena cidera bahunya akibat dijatuhkan Ramos, harus keluar berurai air mata dari lapangan dan gagal member gol kemenangan untuk Liverpool, sekaligus euforia untuk warga Mesir.

Bahkan lebih tragis lagi, Salah terancam gagal  berangkat ke Moskow memperkuat Timnas Mesir di ajang  Piala Dunia dua minggu ke depan. Padahal di bahu Salah rakyat Mesir sudah terlanjur menumpukan  mimpi mereka akan sebuah kisah sukses  di ajang paling bergengsi itu.

Wahba lupa, atau mungkin tidak sudi menerima fakta, bahwa insiden Ramos-Salah di laga final itu bukan sesuatu yang direncanakan untuk menciderai Salah agar  keluar dari lapangan dan nantinya tidak bisa juga berlaga di Piala Dunia.

Memang benar insiden itu sebuah kesengajaan.  Sebab tidak ada sesuatu yang bersifat kebetulan dalam sepakbola profesional modern. Ramos sengaja bermain ekstra keras, sehingga melakukan pelanggaran profesional (professional foul) untuk mematahkan  gerakan Salah merebut bola yang bisa saja berujung pada sebuah gol untuk Liverpool.

Jika insiden itu hendak dipahami sebagai sebuah tragedi, maka ia hanya boleh  sebatas tragedi di pertandingan final Liga Champions Eropa antara Liverpool dan Real Madrid. Membawa masalah itu ke ranah hukum positif di luar lapangan sepak bola tak bisa lain  kecuali menjadi sebuah komedi.

Sepakbola di bawah FIFA sudah punya "hukum"nya sendiri untuk menangani kasus-kasus semacam itu. Kalau hukum positif hendak digunakan untuk pelanggaran di lapangan, apa jadinya sepak bola.  Nanti tindakan seorang penyerang merebut bola dari kaki seorang bek lawan bisa-bisa diadukan pula sebagai pasal pencurian. Bukankah itu komedi?

Lagi pula, perlu dipahami, tindakan keras dalam sepakbola untuk melindungi gawang sendiri atau bola di kaki adalah lumrah. Tindakan semacam itu bukan saja telah menyebabkan cidera pada pemain, tapi juga kehilangan nyawa. Itu adalah risiko yang sudah diperhitungkan, sehingga setiap pemain profesional, selain harus menguasai keahlian main keras, juga harus menguasai keahlian menyelamatkan diri dari teknik keras lawan.

Akan halnya Ramos, sudah sohor se-liga Eropa sebagai bek paling keras. Bahkan dinilai sebagai bek paling brutal yang pernah ada. Dia dijuluki "Raja Kartu Kuning", bahkan "Raja Kartu Merah", sebagai pengakuan atas  kekejamannya di lapangan. 

Karena itu setiap pemain liga Eropa, tak terkecuali Salah, harusnya sudah menguasai keahlian menghindar dari teknik keras (dan kejam) Ramos. Lionel Messi, penyerang Barcelona, adalah pemain yang terbilang kenyang dikerasi Ramos. Tapi Messi juga pemain yang kenyang meredam sekaligus mempecundangi Ramos sebelum menceploskan bola ke gawang Real Madrid. Aneh saja kalau Salah gak bisa belajar misalnya dari Messi.

Tapi sudahlah. Saya paham psikologi pendukung Liverpool, termasuk warga Mesir yang menjadi pendukung karena kehadiran Salah di tim itu. Harus ada yang disalahkan sebagai "kambing hitam" untuk sebuah kekalahan. Dan kambing hitam terburuk dalam kasus ini adalah Ramos.  

Namun Ramos telah menjadi kambing hitam atas dasar sebuah harapan kosong. Harapan bahwa seandainya dia tak menciderai Salah, maka Salah akan mencetak gol kemenangan ke gawang Real Madrid. Ketika harapan itu tidak terwujud, karena Salah terpaksa keluar dari lapangan pada menit ke 35 babak pertama, maka pendukung Liverpool mengkambing-hitamkan Ramos untuk gol yang tidak terjadi dari kaki Salah pada 55 menit sisa waktu pertandingan. Ini memang absurd, tapi begitulah yang terjadi.

Saya bilang absurd karena harapan para pendukung Liverpool atau khususnya penggemar Salah melupakan dua hal. Pertama, sebelum cidera Salah sudah bermain 35 menit dan tidak mencetak satu golpun ke gawang Real Madrid. Lalu apa dasarnya untuk meyakini bahwa dia akan mencetak gol kemenangan pada 55 menit sisa waktu laga? Bukankah harapan serupa juga ditumpukan pada penyerang Real Madrid, Ronaldo, tapi dia tidak mencetak satu golpun ke gawang Liverpool sampai pertandingan usai?

Kedua,  Liverpool adalah sebuah kesebelasan yang saling-dukung satu sama lain. Bukan sebuah konstelasi dimana Mo Salah didukung oleh 10 orang pemain lain, sehingga tanpa Salah maka tak ada Liverpool. Bukan hanya Salah seorang yang bisa menjebol gawang Real Madrid. Pemain lain bisa juga, seperti dibuktikan Mane dengan gol tunggalnya di menit ke 55. Begitu juga di kubu Real Madrid, bukan Ronaldo tapi Benzema dan Bale yang menjebol gawang Liverpool total tiga kali. Lalu apa bisanya penyerang lain Liverpool tanpa kehadiran Salah?

Pendukung Liverpool, juga official dan pemainnya, harus bisa menerima fakta bahwa dalam laga final itu, tim mereka kalah segalanya dari Real Madrid. Coba lihat statistik pertandingan ini (Liverpool : Real Madrid): penguasaan bola 34% : 66%, tembakan 14 : 13, tembakan tepat sasaran 5 : 2, tendangan sudut 9 : 5, dan pelanggaran 5 : 18. Dengan statistik seperti itu, sungguh absurd mengharap Liverpool tampil sebagai pemenang  laga final Liga Champions.

Jadi, para pendukung Liverpool atau Mo Salah, cobalah menilai laga final secara obyektif. Tak ada dasar untuk mengkambing-hitamkan Ramos atas kekalahan Liverpool. Ingat, Ramos bersih dari kartu kuning dalam laga itu. 

Demikian juga,  tak ada dasar menunjuk hidung Loris Karius, kiper Liverpool sebagai kambing hitam yang lain. Sebab berdasar statistik pertandingan,  bisa disimpulkan bahwa 10 pemain lain Liverpool tidak mampu menguasai bola yang mengancam gawang Karius.

Begitu saja, ulasan dari seorang pengagum Lionel Messi.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun