Sederhananya, jika "panutan" bilang pilih partai X dan pilih capres Y, karena partai X dan capres Y membela agama kita, atau memenuhi ayat Z dalam Kitab Suci kita, maka pengikut akan manut.Â
Begitulah cara kerja agama sebagai moda produksi politik. Isu agama dan ayat Kitab Suci dikemas menjadi "alat produksi" politik, dan dipasok kepada "pengikut" untuk diproses dalam rangka mebghasilkan pilihan (surplus politik bagi "panutan").
Jika ajaran agama dan ayat Kitab Suci digunakan sebagai alat produksi politik, maka demokrasi telah dibunuh di situ. Sebab ajaran agama atau ayat Kitab Suci adalah keyakinan imani, tidak bisa diperdebatkan seperti halnya gagasan dan program pembangunan. Mendebatnya, atau mempertanyakannya, berarti murtad, dosa, atau penistaan. Jadi, tidak ada pilihan lain, kecuali ikut apa kata "panutan".
Ketika agama dijadikan moda produksi politik, maka agama sebenarnya telah direndahkan menjadi sekadar aspirasi politik primordialistik. Dan para penganut agama telah direndahkan menjadi sekadar "buruh politik". Sebagai alat bagi para "panutan" politik, untuk meraih "surplus politik", yaitu kekuasaan politik yang dipegangnya sendiri. Ini sebenarnya bisa disebut sebagai penghinaan terbesar terhadap agama. Tapi banyak "politisi serakah" tega melakukannya.
Tentu saja, paparan saya tentang agama sebagai moda produksi politik ini harus diterima sebagai sebuah hipotesis. Mungkin terbukti, mungkin pula terbantah. Dan saya sungguh berharap, fatwa MUI terkait pelarangan politisasi agama itu, kalau benar akan dikeluarkan MUI, akan membuat hipotesis tersebut terbantahkan.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H