Ada berita baik baru-baru ini. Sebagai hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI ke-6 yang diselenggarakan di Banjarbaru, 7-9 Mei 2018, Majelis Ulama Indonesia (MUI) akan menerbitkan fatwa pelarangan politisasi agama. Khususnya terkait pelaksanaan pilkada dan pilpres. Itu pernyataan langsung KH Ma'ruf Amin, Ketua Umum MUI (dicuplik dari berita "MUI Sudah Siapkan Fatwa Cegah Politisasi Agama", cnnindonesia.com, 10/05/2018).
Secara spesifik, berdasar penuturan KH Ma'ruf Amin, tujuan fatwa itu antara lain, pertama, menghindari penggunaan agama sebagai alat politik atau alat partai politik.
Kedua, menghindari pemanfaatan isu agama sebagai strategi pencapaian tujuan politik khususnya terkait pilkada/pilpres.
Ketiga, menempatkan agama sebagai sumber inspirasi untuk membentuk perilaku politik yang beradab dan santun. Misalnya agar tidak menggunakan masjid sebagai wahana penyampaian aspirasi politik.
Fatwa MUI itu, jika benar akan diterbitkan, saya pikir akan menjadi sumbangan terbesar untuk menyelamatkan "Demokrasi Pancasila" kita. Sebab panggung politik kita sekarang ini sudah terdistorsi dengan pemanfatan isu-isu atau dalil-dalil keagamaan, untuk mencapai tujuan-tujuan politik duniawi. Dan itu sebenarnya tidak terbatas pada satu agama saja.
Intinya sekarang ini memang ada indikasi gejala penggunaan agama, meminjam konsep Marxian, sebagai "moda produksi (di bidang) politik". Sederhananya, agama menjadi sekadar wahana untuk mencapai tujuan-tujuan politik. Jelas ini merendahkan nilai agama pada hanya sekadar wahana pencapaian tujuan-tujuan duniawi, khususnya kepentingan-kepentingan politik yang bersifat primordialistik.
***
Lantas, apa sebenarnya yang saya maksudkan dengan gejala pemanfaatan agama sebagai moda produksi politik?
Sebelum menjawabnya, baiklah saya jelaskan dulu apa itu "moda produksi" (silakan bdk. Wikipedia). Dalam tradisi Marxian, moda produksi (mode of production), atau "cara produksi", adalah kombinasi unsur-unsur "kekuatan produksi" (productive forces) dan "hubungan produksi" (relations of production).
Kekuatan produksi mencakup tenaga kerja manusia dan alat produksi (means of production) semisal alat, bahan, perlengkapan, bangunan, teknologi, pengetahuan, dan tanah.
Sedangkan hubungan produksi, sosial dan teknis, meliputi hak milik, kekuasaan, aturan penguasaan aset, hubungan kerja, hubungan pekerja dengan obyek kerja, sampai hubungan antar kelas sosial.