Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ayo Kembali ke Papan Tulis!

2 Mei 2018   10:39 Diperbarui: 2 Mei 2018   21:22 3226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Media ajar terbaik dalam kelas adalah papan tulis," simpul Pak Andi Hakim Nasution (alm.), dalam sebuah kelas kecil "Filsafat Ilmu" tahun 2004.

Papan tulis yang dimaksud Pak Andi (begitu kami selalu menyapanya) adalah blackboard, papan tulis hitam. Tentu dengan kapur tulis (putih) sebagai pasangannya. Okelah, hitam atau hijau, sama saja, cuma beda warna.

Perlu diceritakan, pada tahun 2004 itu sudah digunakan juga papan tulis hijau (greenboard?), tetap dengan kapur tulis putih. Juga sudah digunakan whiteboard, dengan kelengkapan spidol whiteboard marker sebagai alat tulisnya.

Selain media ajar konvensional tadi, sudah lazim pula digunakan overhead projector (OHP), dengan kelengkapan lembaran plastik mika untuk ditulisi dan ditayangkan ke dinding warna cerah. Dan kalau tak salah ingat, LCD Projector juga sudah mulai digunakan.

Kembali ke "papan tulis (hitam)". Mengapa Pak Andi menyimpulkannya sebagai "media ajar terbaik"? 

"Karena mengakrabkan guru dan murid," begitu alasan Pak Andi, kurang lebih.

"Keakraban guru dan murid", saya kira, itulah inti ekologi kelas atau belajar-mengajar yang sejati. Dan ekologi kelas semacam itu lebih mungkin diwujudkan dengan media "papan tulis".

Kok bisa? Saya perlu merujuk pada pengalaman pribadi untuk menjelaskannya. Semasa sekolah tingkat SD, SMP, sampai SMA dari pengujung 1960-an sampai 1970-an, sekolah saya masih mengandalkan papan tulis sebagai media ajar tunggal di kelas.

Sebelum guru masuk kelas, wajib hukumnya murid membersihkan papan tulis, menurut jadwal tugas yang telah disepakati. Ini poin pertama tentang keakraban guru dan murid. Murid membantu guru untuk mengajar mereka.

Saat pelajaran berlangsung, ketika papan tulis sudah penuh coretan, Pak Guru tinggal bertitah, "Poltak, hapus papan tulis!" Lalu Si Poltak dengan sukacita melaksanakan perintah Pak Guru.

Di lain waktu, saat Si Poltak ditanya Pak Guru tapi gagal menjawab benar, maka dia akan diganjar nasihat, "Poltak, makan kapur ini!"

Atau, di lain waktu, saat Si Poltak ngantuk, maka sepotong kapur tulis melayang dari tangan Pak Guru dan mendarat tepat di jidatnya, membuat Si Poltak segar kembali, siap belajar.

Saya ingat betul, kerap ada guru yang terlalu syuur mengajar, tak sadar mengusap keringat di dahi atau pipi dengan tangan berkapur, sehingga wajahnya cemong putih selayaknya badut. Itu lucu dan waktunya para murid untuk tertawa. 

Jadi, sepanjang pengalaman saya, papan tulis hitam dengan kapur tulisnya memang bukan media ajar biasa, karena dia berfungsi juga sebagai media pengakraban guru dan murid.

Tapi yang paling mengagumkan dari papan tulis adalah kemampuannya membangun pemahaman murid tentang satu topik bahasan. 

Sebagai contoh saja, saya ingat betul waktu guru Fisika mengajak kami murid SMA untuk memecahkan satu soal. Mulai dari analisa apa yang diketahui dan apa yang ditanya, lalu rumus apa yang tepat digunakan, dan seterusnya. Termasuk pula memasukkan angka-angka yang diketahui ke dalam rumus, hingga perhitungan detil sampai menemukan hasil akhir. Maka terjadi (proses) dan terdokumentasi (hasil) secara lengkap di papan tulis. 

Tidak ada proses belajar yang lebih hebat dari itu, sepanjang pengalaman saya. Itu proses belajar yang sangat dinamis, dua arah, ada komunikatif dalam pengertian Habermasian, yaitu proses pembentukan kesepahaman bersama. Kadang guru yang menulis di papan, kadang murid yang tampil di depan mengerjakan soal di papan. Kesalahan langsung diperbaiki di papan, kebenaran langsung diganjar pujian. Sangat akrab.

Sekarang mari melompat ke dalam kelas modern masa kini, kelas dengan teknologi ajar digital. Setiap kelas dilengkapi dengan LCD Projector canggih untuk menayangkan bahan ajar dalam bentuk Power Point atau video. Pertanyaannya, adakah keakraban guru dan murid yang difasilitasi oleh LCD Projector dengan Power Point dan atau video?

Saya tidak punya informasi untuk menyimpulkan bahwa Power Point dan video yang ditayangkan melalui LCD Projector itu bias mengakrabkan guru dan murid. Itu adalah proses searah, instruktif, atau instrumental menurut Habermasian. Dingin tanpa komunikasi.

Memang guru ngomong berapi-api di depan kelas, tapi tak ada murid yang memperhatikannya. Murid sibuk melihat tayangan di layar dan mencatat secepat mungkin, sebelum guru mengganti slide Power Point. Begitulah proses belajar berbasis digital. 

Dengan cara belajar seperti itu, saya tak yakin para murid akan mendapat pengetahuan dan pemahaman penuh atas suatu pokok bahasan. Sebab tak ada komunikasi. Jadi bagaimana mungkin ada pemahaman? 

Sekarang menjadi jelas mengapa orang tua murid harus rela mengeluarkan uang jutaan rupiah lagi untuk bayaran les atau bimbingan belajar (bimbel) bagi anaknya? Lha, kalau masih perlu bimbel, lalu untuk apa ada sekolah?

Saya bukanlah yang anti pada kemajuan teknologi komunikasi atau informasi. Saya juga mendukung penggunaannya dalam proses ajar di kelas. Tapi sebagai pendukung saja, bukan yang utama.

Saya tetap menganjurkan agar para guru kembali ke papan tulis yang legendaris itu. Papan tulis hitam dan kapur tulis itulah wahana komunikasi terbaik dalam proses belajar-mengajar di kelas. Ia adalah inovasi media ajar sekaligus media keakraban terbaik yang pernah ada.

Jadi, ayo kembali ke papan tulis! 

Selamat Hardiknas 2018!***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun