Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Dikotomi "Partai Allah vs Partai Setan" Itu Fiksi yang Buruk

1 Mei 2018   17:29 Diperbarui: 1 Mei 2018   21:45 587
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Mau Partai Allah, mau Partai Setan, memangnya ada yang perduli nasib petani?" (Foto: tempo.co)

Ujaran dikotomis "Partai Allah vs Partai Setan" dari Amien Rais  mendapat banyak celaan  dari politisi dan khalayak yang berseberangan dengannya.

Banjir celaan  itu umumnya menggugat kategorisasi partai berdasar sifat "Allah" dan "Setan" seperti itu. Kapan Allah, atau Setan,  mendirikan partai politik? Bukankah anggota partai yang disebut Partai Allah itu ada juga yang berwatak "setan", misalnya koruptor? Bukankah anggota partai yang disebut Partai Setan itu juga umat  Allah?  Itu antara lain gugatan yang dilontarkan.

Namun gugatan semacam itu, walau dapat diterima akal sehat, sebenarnya  tidak  relevan. Mengapa? Karena dikotomi "Partai Allah vs Partai Setan" bukan simpulan faktual, yang berdasar amatan atas realitas sosial. Dengan kata lain, ia adalah sebuah  ujaran tanpa pijakan empiris.

Sebenarnya, kalau mau repot sedikit berpikir kritis,  dengan mudah kita bisa simpulkan  bahwa dikotomi "Partai Allah vs Partai Setan" itu adalah "fiksi  yang buruk.

Fiksi yang buruk? Ya, sebab beda pandangan dengan Rocky Gerung, tidak semua fiksi itu baik. Coba jawab jujur, kalau fiksi karya Anny Arrow itu baik, mengapa anak laki remaja perlu ngumpet untuk membacanya? Nah, saya sudah sebut satu contoh fiksi yang buruk.

Mengapa dikotomi "Partai Allah vs Partai Setan" itu fiksi yang buruk?  Karena dia tergolong produk pemikiran pseudo-saintik,  ilmiah semu atau palsu. Seolah-olah ilmiah, padahal "ngelmu".

Begini. Sejatinya dikotomi semacam itu merujuk pada metode "tipe ideal" (ideal types) ala Weberian (Max Weber).  Contoh, dikotomi birokrasi legal-rasional vs patrimonial adalah tipe ideal rumusan Weber. Tipologi itu didasarkan pada sejumlah karakter organisasi, antara lain tipe wewenang, hirarki, aturan, imbalan, promosi, relasi, dan lain-lain.

Berdasar sejumlah kriteria itu, Weber merumuskan birokrasi legal-rasional sebagai birokrasi yang berdasar aturan, impersonal, netral, hirarkis, dan rasional. Sebaliknya dengan birokrasi patrimonial. Tentu saja itu tipe ideal, tidak ada dalam realitas sosial.

Sekarang, coba periksa kriteria dikotomi "Partai Allah vs Partai Setan". Dikotomi ini didasarkan hanya pada satu kriteria tunggal: "pembelaan pada agama Allah". Kata Amien Rais, partai yang "membela agama Allah", hizbullah, adalah "Partai Allah". Sebaliknya, partai yang "tidak membela agama Allah", hizbusy syaitan, adalah "Partai Setan" ("Amin Rais Dikotomikan Partai setan dan Partai Allah", cnnindonesia.com, 13/04/2018).

Implisit, yang dimaksud Amien Rais sebagai "Partai Allah" adalah trio Gerindra-PAN-PKS (GAK), partai-partai "pembela agama Allah". Dan implisit pula partai-partai politik lainnya dimasukkan dalam kubu "Partai Setan", partai-partai yang "bukan pembela agama Allah". Sepintas dikotomi ini  tampak semacam "tipe ideal" ala Weberian, tapi sebenarnya bukan.

Alasannya, pertama, kriteria "pembela agama Allah" itu sejatinya bukan melekat pada satu partai saja, tapi pada semua partai politik di Indonesia. Sebab semua partai politik berazaskan Pancasila, yang memuat Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena itu, semua partai politik Indonesia pasti "membela agama Allah" (bukan "agama Setan"), alias "Partai Allah".

Kedua, mengenakan kriteria "pembela agama Allah"  itu hanya pada kubu GAK, dan menghindari penerapannya pada partai-partai lain tergolong sebagai manipulasi metodologis, atau ketidak-jujuran. Secara metodologis, untuk menguji alasan tersebut pertama di atas,  harusnya kriteria itu diujikan juga pada partai-partai selain GAK. Tapi Amien Rais tidak melakukannya, dan hanya mengenakannya pada kubu GAK.

Ketiga, penyematan kriteria "pembela agama Allah" pada kubu GAK itu hanya didasarkan pada pengalaman Pilgub DKI Jakarta tahun 2017. Pilgub itu memang sarat isu "kepentingan keagamaan" dan GAK waktu itu mengklaim diri sebagai "pembela agama Allah". Ini cara  pengujian yang jauh dari sahih. Karena di perhelatan Pilkada lain, ada juga unsur GAK yang bersekutu dengan partai lain yang digolongkan "Partai Setan".  Jadi, pengenaan kriteria "pembela agama Allah" pada GAK tidak punya dasar empirik yang bisa dipertanggungjawabkan.

Bisalah disimpulkan, dikotomi "Partai Allah vs Partai Setan" itu  bukan tipe ideal Weberian yang punya dasar ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan.  Dia lebih merupakan hasil "penilaian subyektif": "Kubuku pembela agama Allah, dan karena kamu bukan kubuku, maka kamu bukan kubu pembela agama Allah". Sesederhana itu.

Maka, dikotomi "Partai Allah vs Partai Setan" lebih tepat disebut fiksi ketimbang fakta sosial. Tapi juga fiksi yang buruk. Bukan karena saru seperti fiksinya Anny Arrow, tapi karena terindikasi menempatkan agama sebagai sekadar "moda produksi politik" dan umat sebagai "alat produksi politik". (Isu  ini akan saya bahas lain waktu).

Target politik dari ujaran dikotomi "Partai Allah vs Partai Setan" yang "hitam-putih"  semacam itu mudah ditebak. Harapannya, umat yang "takut dicap pendukung Partai Setan", karena "kemalasan  berpikir kritis",  akan tergiring memilih capres/cawapres serta caleg yang dimajukan oleh partai-partai yang diklaim sebagai "Partai Allah". Ini sangat buruk karena mengandung nilai intimidatif dan melecehkan akal sehat. Selain itu juga "murahan".

Tapi, pada akhirnya, semua terserah pada rakyat Indonesia yang katanya "sudah cerdas", atau sekurangnya "tidak bodoh". Apakah mau terus-terusan "malas berpikir kritis" sehingga hanya akan menjadi alat produksi bagi politisi yang sarat kepentingan diri?   Atau mau susah sedikit berpikir kritis sehingga terbebas dari  ujaran-ujaran fiktif yang buruk dan (bisa) menyesatkan?***

*)Terimakasih pada Mas Aji dan Mas Susy atas komentar mereka pada versi awal artikel ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun