Dunia maya kita baru-baru ini diramaikan postingan tentang dua orang warga "(mungkin) istimewa" Jakarta yang marah-marah karena mobilnya yang diparkir di badan jalan (hendak) diderek oleh petugas Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta. Â
Kedua warga itu, satu bernama Fajar Sidik (anggota DPRD DKI Jakarta) dan satu lagi bernama Ratna Sarumpaet (aktivis sosial-politik),  sama-sama ngotot menilai  parkir mobilnya tidak melanggar peraturan. Keduanya berargumen memarkir mobil di ruas jalan yang tidak dipasangi rambu larangan parkir. Jadi tidak melanggar rambu lalu-lintas, dong?
Petugas Dishub yang berpegang pada Perda Nomor 5/2014 tetap berpendapat bahwa Fajar dan Ratna telah melanggar peraturan. Sebab mereka memarkir mobil di tempat yang tidak diperuntukkan sebagai jalur atau ruang parkir.
Solusi atas tarik urat leher antara Fajar dan Ratna versus Petugas Dishub ternyata mudah saja. Keluarkan "jurus kekuasaan". Fajar menyebut statusnya sebagai anggota DPRD, sehingga Pak Polisi turun tangan menengahi, lalu mobilnya batal diderek. Ratna (katanya) menelepon Gubernur Anies, tapi (katanya) diterima staf, dan setelah itu petugas Dishub  mengantar mobil yang sudah sempat diderek ke rumah Ratna disertai bonus "permintaan maaf". Alangkah sakti mandraguna "jurus kekuasaan" itu.
Kasus  parkir Fajar dan Ratna menurut saya mencerminkan "egoisme warga (yang mungkin) istimewa".  Sebab kalau tidak egois, anggota DPRD dan aktivis sosial-politik itu mestinya memperjuangkan kepentingan masyarakat banyak.  Caranya, biarkan mobilnya diderek. Lalu  berjuang di jalur politik dan hukum, agar Pemda DKI mengijinkan parkir di badan jalan yang tak dipasangi rambu larangan parkir.
Baiklah, saya tidak hendak membahas kasus Fajar dan Ratna itu lebih jauh. Â Tapi, belajar dari kasus itu dan kasus-kasus lain sebelumnya, saya hanya ingin menyampaikan beberapa "sesat pikir" (logical fallacy) Â perparkiran di Jakarta.
Sesat Pikir 1: Â Jika suatu ruas jalan tidak dipasangi rambu larangan parkir, maka mobil boleh diparkir di situ
Ini sesat pikir, karena berdasar pertimbangan efisiensi dan efektivitas, rambu larangan parkir tidak mungkin dipasang pada setiap jarak 25 meter sepanjang jalan. Lebih efisien dan efektif jika memasang rambu boleh parkir, atau mesin parkir otomatis, di penggalan ruas jalan tertentu yang memang disediakan untuk parkir. Â
Jadi, pernyataan "Saya tidak tahu kalau tidak boleh parkir meski tak ada rambu larangan parkir" adalah cermin kemiskinan logika. Atau mungkin cuma argumen "ngeles". Sebab di depan pintu rumah orang juga tak ada rambu larangan parkir, lalu apakah kita boleh parkir di situ? Hal serupa bisa dikatakan tentang jalan layang, jalan layang non tol, Â dan jalan tol.
Tidak perlu harus membuka-buka Perda Nomor 5/2014  untuk mengetahui di mana boleh atau  tidak boleh parkir. Pakai penilaian logis pribadi saja. Jika tindakan parkir kita menyulitkan mobil lain melintas, sehingga berisiko menimbulkan kemacetan, maka jangan parkir di tempat itu.
Sesat Pikir 2: Â Jika di suatu tempat ada tukang parkir, maka di situ boleh parkir
Dengan pengecualian di sekitar rumah ibadah dan sekolah pada jam-jam tertentu yang bersifat terbatas, pikiran seperti itu jelas keliru. Â
Alasannya, pertama, jika tempat tukang parkir beroperasi itu adalah tempat yang dipasangi rambu larangan parkir, atau ruas jalan tanpa rambu larangan parkir, maka tetap saja di situ tidak boleh parkir. Â Jika ada tanda boleh parkir, semisal di ruas jalan depan pasar, maka barulah boleh parkir.
Kedua, tukang parkir tersebut, sekalipun pakai seragam Petugas Parkir DKI, belum tentu petugas parkir resmi. Â Seperti pada kasus Fajar, mungkin saja dia petugas parkir "liar" yang mengais rejeki dari waktu-waktu "tanpa penderekan". Begitu petugas Dishub datang dengan mobil dereknya, diapun pergi kabur entah ke mana. Â Yang penting duit parkir sudah di tangan. Kena derek Dishub, nasib situlah!
Sesat Pikir 3:  Jika di suatu tempat banyak mobil parkir, maka di situ  boleh parkir
Ini sesat pikir yang esensinya sama saja dengan Sesat Pikir 2. Sebab tindakan atau pilihan mayoritas tidak selalu mencerminkan kebenaran. Bisa saja itu sifatnya "tirani mayoritas", yang menyebabkan Dishub ogah menderek, walaupun sebenarnya di tempat itu tidak dibolehkan parkir. Â Sebab ada puluhan mobil parkir sementara mobil derek cuma dua unit dan kunci roda cuma 10 unit, misalnya. Â
Lain waktu, jika di tempat itu jumlah mobil parkir cuma beberapa, sangat mungkin langsung diderek. Â Sudah pasti argumen "Lho, kemarin boleh parkir di situ" tidak bisa diterima. Â Lha, kan tidak ada rambu boleh parkir?
Sesat Pikir 4: Â Jika di suatu tempat terpasang rambu dilarang berhenti, maka di situ boleh parkir
Nah, jujur, saya gak ngerti logika macam apa ini. Â Sudah jelas untuk berhenti sebentar (stop) saja dilarang, apalagi untuk berhenti lama (parkir). Â Logika ini hanya mungkin dianut oleh orang yang gemar cari gara-gara dengan Dishub, atau kebanyakan duit untuk bayar denda, Â atau mungkin punya "jurus kekuasaan". Â
Itulah beberapa sesat pikir perparkiran di Jakarta, sepanjang yang saya tahu. Bahkan, dan ini jangan ditiru, ada kalanya nekad melakoni sendiri. Mudah-mudahan berguna sebagai pedoman untuk menghindari risiko mobil Anda salah parkir lalu diderek petugas Dishub. Â Terutama bagi Anda yang tak punya simpanan "jurus kekuasaan".***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H