Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sesat Pikir Perparkiran di Jakarta

6 April 2018   10:22 Diperbarui: 6 April 2018   13:19 2229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mobil diderek petugas Dishub Jakarta akibat sesat pikir parkir (Foto: poskotanews.com)

Dunia maya kita baru-baru ini diramaikan postingan tentang dua orang warga "(mungkin) istimewa" Jakarta yang marah-marah karena mobilnya yang diparkir di badan jalan (hendak) diderek oleh petugas Dinas Perhubungan (Dishub) DKI Jakarta.  

Kedua warga itu, satu bernama Fajar Sidik (anggota DPRD DKI Jakarta) dan satu lagi bernama Ratna Sarumpaet (aktivis sosial-politik),  sama-sama ngotot menilai  parkir mobilnya tidak melanggar peraturan. Keduanya berargumen memarkir mobil di ruas jalan yang tidak dipasangi rambu larangan parkir. Jadi tidak melanggar rambu lalu-lintas, dong?

Petugas Dishub yang berpegang pada Perda Nomor 5/2014 tetap berpendapat bahwa Fajar dan Ratna telah melanggar peraturan. Sebab mereka memarkir mobil di tempat yang tidak diperuntukkan sebagai jalur atau ruang parkir.

Solusi atas tarik urat leher antara Fajar dan Ratna versus Petugas Dishub ternyata mudah saja. Keluarkan "jurus kekuasaan". Fajar menyebut statusnya sebagai anggota DPRD, sehingga Pak Polisi turun tangan menengahi, lalu mobilnya batal diderek. Ratna (katanya) menelepon Gubernur Anies, tapi (katanya) diterima staf, dan setelah itu petugas Dishub  mengantar mobil yang sudah sempat diderek ke rumah Ratna disertai bonus "permintaan maaf". Alangkah sakti mandraguna "jurus kekuasaan" itu.

Kasus  parkir Fajar dan Ratna menurut saya mencerminkan "egoisme warga (yang mungkin) istimewa".  Sebab kalau tidak egois, anggota DPRD dan aktivis sosial-politik itu mestinya memperjuangkan kepentingan masyarakat banyak.  Caranya, biarkan mobilnya diderek. Lalu  berjuang di jalur politik dan hukum, agar Pemda DKI mengijinkan parkir di badan jalan yang tak dipasangi rambu larangan parkir.

Baiklah, saya tidak hendak membahas kasus Fajar dan Ratna itu lebih jauh.  Tapi, belajar dari kasus itu dan kasus-kasus lain sebelumnya, saya hanya ingin menyampaikan beberapa "sesat pikir" (logical fallacy)  perparkiran di Jakarta.

Sesat Pikir 1:  Jika suatu ruas jalan tidak dipasangi rambu larangan parkir, maka mobil boleh diparkir di situ

Ini sesat pikir, karena berdasar pertimbangan efisiensi dan efektivitas, rambu larangan parkir tidak mungkin dipasang pada setiap jarak 25 meter sepanjang jalan. Lebih efisien dan efektif jika memasang rambu boleh parkir, atau mesin parkir otomatis, di penggalan ruas jalan tertentu yang memang disediakan untuk parkir.  

Jadi, pernyataan "Saya tidak tahu kalau tidak boleh parkir meski tak ada rambu larangan parkir" adalah cermin kemiskinan logika. Atau mungkin cuma argumen "ngeles". Sebab di depan pintu rumah orang juga tak ada rambu larangan parkir, lalu apakah kita boleh parkir di situ? Hal serupa bisa dikatakan tentang jalan layang, jalan layang non tol,  dan jalan tol.

Tidak perlu harus membuka-buka Perda Nomor 5/2014  untuk mengetahui di mana boleh atau  tidak boleh parkir. Pakai penilaian logis pribadi saja. Jika tindakan parkir kita menyulitkan mobil lain melintas, sehingga berisiko menimbulkan kemacetan, maka jangan parkir di tempat itu.

Sesat Pikir 2:  Jika di suatu tempat ada tukang parkir, maka di situ boleh parkir

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun