Bahkan untuk menjadi sebatang pohonpun, hidup tidaklah mudah di Jakarta. Â Khususnya pohon yang tumbuh di tepi jalan.
Pagi ini, untuk kesekian ratus kali, saya melintas lagi di Jalan Suryo, Jakarta Selatan. Ini ruas jalan yang indah. Teduh dipayungi tajuk pepohonan mahoni tua di tepu kiri dan kanan jalan.
Sepintas tidak ada yang salah di Jalan Suryo. Semua tampak indah. Kecuali bagi mata yang menempel di kepala berotak kritis.
Ya, pohon-pohon mahoni itu tidak berada di trotoar. Tapi tegak di bahu kiri dan kanan jalan beraspal. Dan itu abnormal, tidak natural. Dengan kata lain sebuah kesalahan.
Itu jelas sebuah kesalahan yang direncanakan dan dipelihara. Â Sehingga muncul kesan bahwa itu "wajar", tidak masalah. Dengan kata lain, pembenaran atas suatu kesalahan.
Seperti manusia tidak selayaknya berumah di bantaran kali yang rawan banjir dan penyakit, Â demikian pula sebatang pohon tidak selayaknya hidup di bahu jalan raya kota yang rawan celaka dan kesakitan.
Rawan celaka? Ya, pada suatu pagi November tahun lalu, saya  melintas di Jalan Suryo dan melihat sebuah mobil mewah terhenti karena menabrak sebatang mahoni tua yang tegak di bahu kanan jalan.
Terus terang, saya tidak bersimpati pada pengemudi mobil mewah itu, yang mungkin jidatnya  benjol segede bakpao. Saya justru bersimpati pada mahoni tua itu, yang tidak bisa melompat ke trotoar menghindari hajaran moncong si mobil mewah.
Coba dipikir. Si Mahoni Tua itu sudah puluhan tahun setia menyerap polusi karbondioksida dan debu jalanan. Untuk menjaga kesegaran udara kota. Eh, mobil produsen polutan itu justru menabraknya. Dasar tak tahu diuntung.
Ditabrak atau disenggol mobil bukan kejadian langka bagi mahoni-mahoni Jalan Suryo. Luka-luka di tubuh pohon-pohon itu adalah teks laporan kecelakaan tabrak lari.
Maksudnya, setelah menabrak atau menyenggol, pengendara dan mobilnya pergi begitu saja, tanpa peduli luka-luka pohon. Alih-alih, mungkin dia mengumpat, "Pohon sialan, kemarin dia belum ada di situ!"