Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Makam Bayi Suci di Kambira Toraja Itu Telah Mati

16 Maret 2018   15:29 Diperbarui: 21 Maret 2024   19:35 1057
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Negeri di Atas Awan boleh dilewatkan, tapi tidak dengan makam bayi di Desa Kambira," kata saya pada isteri dan kedua anak kami.

"Negeri di Atas Awan" yang saya maksud adalah Kampung Lolai, sekitar 1,300 mdpl, di Toraja Utara. Tak terlalu jauh sebenarnya dari kota Makale, tempat kami menginap.

Tapi hari itu, 27 Desember 2017, adalah hari terakhir kami berkunjung ke Tana Toraja. Hanya sepagi hari pula, sebab siangnya kami harus berangkat ke "Kotanya Habibie", Parepare.

Maka kunjungan ke makam bayi di Kambira, Sangalle menjadi sebuah pilihan "harus". Sebab Negeri di Atas Awan bisa juga ditemukan di Jawa (Dieng) dan Lombok (Sembalun). Tapi makam khusus bayi hanya ada di Toraja, salah satunya di Kambira itu.

"Saya belum tahu lokasinya, Pak," jawab Daeng Sahar yang selalu gembira mengantar kami dengan mobilnya ke mana saja. Maka jadilah kami mengandalkan google map sebagai pemandu arah.

"Itu dia," seru isteri saya, setelah sekitar setengah jam perjalanan dari Makale. Telunjuknya diarahkan pada sebuah plang kecil bertuliskan "Baby Graves Kambira" di pojok simpang sebelah kanan jalan utama.

Kami hanya butuh beberapa menit untuk tiba di gerbang jalan masuk ke  makam bayi Kambira. Setelah membayar tiket Rp 10,000 per kepala, kami menuruni anak tangga beton, dan sejenak kemudian sudah mencapai lokasi makam di tengah hutan bambu.

"Mana makam bayinya, Pak?" tanya anak bungsu kami bingung. "Itu dia!" seruku sambil menunjuk sebatang pohon besar yang berdiri tegak di tengah pagar besi yang mengelilinginya. "Pohon?" Anak kami nengerinyitkan dahi, heran, tapi juga takjub.

Ya, orang Toraja, khususnya  pengikut religi asli Aluk Todolo, kepercayaan kepada leluhur, memiliki tradisi pemakaman bayi di dalam batang pohon "Tarra" yang masih hidup. Dalam istilah setempat, kuburan bayi semacam itu disebut "Passiliran". Diameter batang pohon Tarra yang layak dijadikan Passiliran minimal 80 cm.

Secara teknis, pemakaman dilakukan dengan membuat lubang seukuran jenazah bayi duduk pada batang pohon, menghadap ke arah rumah mendiang. Tubuh polos bayi kemudian dimasukan ke dalam lubang tersebut, lalu ditutup dengan ijuk pohon enau.

Posisi ketinggian  lubang makam menandakan posisi sosial keluarga mendiang bayi. Paling atas adalah makam bayi dari lapis sosial atas, bangsawan setempat. Paling bawah adalah makam bayi dari lapis sosial bawah, warga biasa.

Bayi yang boleh dimakamkan dalam batang pohon Tarra adalah bayi yang memenhi kriteria "suci" menurut tafsir budaya setempat. "Bayi suci" adalah yang berumur di bawah enam bulan,  belum tumbuh gigi susu, masih menyusui, dan belum bisa berjalan.

Lalu mengapa dipilih pohon Tarra? Karena pohon ini, menurut tafsir religi asli setempat, diyakini memiliki spirit "ibu". Pohon ini memiliki getah warna putih yang diyakini sebagai pengganti air susu ibu untuk mendiang bayi.

Memasukkan jenazah bayi ke dalam batang pohon diyakini sebagai pengembalian bayi itu ke dalam rahim bundanya. Tindakan itu diyakini akan menyelamatkan nyawa adiknya, anak yang lahir sesudahnya. Karena ini keyakinan, tentu tak relevan bertanya apakah benar adiknya lahir selamat dan berumur panjang.

"Apakah lubang-lubang makam bayi di batang Tarra tak membunuh pohon itu?" tanya anak bungsu kami.  "Tidak," jawabku. Sebab saya tahu, setelah belasan tahun, lubang itu menutup kembali  memeluk jenazah bayi sebagai bagian dari dirinya. Jiwa bayi kembali ke ibu kandungnya, sedang tubuhnya menyatu dengan bunda alamnya.

"Tapi pohon Tarra ini sudah mati," tukas anak sulung kami. Saya terperangah, baru sadar bahwa pohon Tarra di Kambira itu sudah mati. Apa penyebabnya? Terpaksa dengan cepat saya konsultasi ke Mbah Google.

"Ooo...itu karena tersambar petir kira-kira 14 tahun lalu," jawab saya kemudian, setelah cari sana-sini di google. Tersambar petir? Kalau benar begitu, bisa dibayangkan betapa tingginya pohon "makam bayi" Kambira itu semasa hidupnya.

Sayang, karena sudah mati, pohon makam bayi itu kini tidak dapat lagi menerima jenazah bayi-bayi suci di dalam rahimnya. Pohon Tarra mati tak bisa menyusui mendiang bayi, untuk menjamin jiwa-jiwa suci tetap hidup dan kembali ke rahim ibu kandungnya.

Tapi ajaibnya, pohon makam bayi yang telah mati itu, kini mampu memberi nafkah bagi warga Kambira, pada fungsinya sebagai obyek wisata terunik sedunia. Karena seorang pelancong tak sah bilang sudah dari Toraja, tapi tak mampir ke pohon makam bayi di Kambira.

"Sungguh dahsyat energi religi asli Aluk Todolo, sungguh hebat energi budaya Passiliran Toraja," renungku takjub dalam mobil yang meluncur di antara bukit-bukit batu menuju Parepare.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun